[caption id="attachment_328825" align="alignnone" width="300" caption="Oda Nobunaga"][/caption]
Perang Okehazama, bagian satu.
Hari menjelang petang, 23 Juli 1560.
Oda Nobunaga, Toyotomi Hideyoshi dan Ieyasu Minamoto duduk melingkari sebuah meja kecil. Tak lama kemudian masuk dua geisha cantik, Ansara Yoshiaki dan Isti Fujiwada. Dengan penuh hormat mereka menghidangkan perlengkapan minum teh yang indah dari dinasti Cin. Ketiga samurai papan atas itu cuma diam merenung. Ansara lalumenuangkan air panas sementara Isti mulai meracik ocha (teh) hijau kesukaaan para petinggi Sengoku itu. Setelah selesai, dua geisha berbodi aduhai itu mundur tanpa berkata sepatah pun.
Oda Nobunaga lalu menepuk tangannya perlahan. Dua detik kemudian Arke Sijimoto sudah menghadap. Ia adalah perwira pertama pasukan wilayah Selatan. Di belakangnya menyusul Jati Satebashi, Bain Nasimura, dan Elang Sakurata. Ketiganya masing-masing adalah perwira pertama wilayah Utara, Timur dan Barat pada pasukan Sengoku. Pasukan ini tengah mati-matian mempertahankan wilayah Owari dari serangan pasukan samurai Imagawa Yoshimoto dari Suruga. Pasukan Owari tersisa hanya dua ribu prajurit, sedangkan di pihak Suruga masih sangat kuat dengan 18.000 prajurit.
Keempat perwira pertama ini duduk bersimpuh menekur hormat penuh rasa sungkan. Baru kali ini mereka diikutsertakan dalam pembahasan strategi perang yang akan dilakukan. Biasanya Oda Nobunaga sendiri yang menyusun siasat, lalu ia sendiri pula yang memimpin langsung eksekusi siasat perangnya itu.
Tapi saat ini adalah saat yang genting. Saat penentuan hidup matinya keshogunan Owari. Karena itulah Nobunaga merasa perlu mengumpulkan perwiranya, selain untuk dibawa berembuk, juga untuk menaikkan moral mereka yang sudah lelah bertahan.
“Musuh sudah mengepung kita dari tiga jurusan, benteng sebelah Utara juga sudah hampir runtuh. Bahan makanan masih cukup untuk empat bulan, amunisi dan anak panah juga masih banyak. Bagaimana pendapatmu, Hideyoshi?”, Nobunaga bertanya pada sahabat dekatnya.
“Saya pikir sebaiknya dini hari nanti kita kerahkan pasukan panah api di sisi Utara dan Timur. Setelah lima kali serangan panah, lepaskan 200 pasukan kavaleri untuk menyerbu ke garis depan. Perwira Arke Sijimoto kita percayakan memimpin mereka. Setelah sebagian besar pasukan musuh mengeroyok mereka, baru kita serang dari belakang. Perwira Jati Satebashi, Bain Nasimura dan Elang Sakurata masing-masing membawa 400 prajurit infanteri. Sementara itu saya dan Ieyasu akan memimpin 400 prajurit menerobos jalur tengah untuk memutuskan barisan mereka. Lalu sisa 200 prajurit panah tetap di atas benteng untuk memberikan bantuan dan serangan. Nobunaga san silahkan mnemimpin para pemanah”, Hideyoshi menguraikan rancangan siasatnya.
Nobunaga terdiam, sepertinya ia masih mempertimbangkan siasat yang diajukan oleh sahabat sehidup sematinya itu. Nampaknya rencana itu cukup sempurna. Nobunaga lalu memberi isyarat agar Ieyasu Minamoto angkat bicara.
“Saya sepenuhnya percaya siasat Hideyoshi-san tadi akan berhasil guna. Kita tinggal menunggu fajar lalu melaksanakannya”, tutur Ieyasu mantap.
“Baiklah, saya setuju. Tetapi yang akan memimpin pasukan panah di atas benteng ini bukan saya. Bintara tinggi Berhane Cukurata saya anggap cukup piawai menjadi komandan mereka”, Oda Nobunaga menegaskan.
Wajah Nobunaga kelihatan penuh aura yang keras dan tajam. Tangannya terkepal erat, sementara gerahamnya gemelatukan menahan marah.
“Kalian sudah dengar tugas masing-masing, siapkan pasukan!”, kali ini Nobunaga memberi perintah kepada keempat perwira pertamanya.
Serempak samurai Arke, Jati, Bain dan Elang berdiri lalu membungkuk dalam penuh hormat. Keempatnya berlalu untuk mengkonsolidasi pasukannya masing-masing.
Selepas keluar dari bangunan istana Owari,Arke langsung nyeletuk “Gile nih Jat, gue langsung mau diempanin ame tuh musuh. Bisa-bisa jadi perkedel jamur gue disantap mereka..”
“Alah, baru sekarang ente ngeluh. Biasanye ente yang paling belagu. Ngaku udah belajar ilmu kebal dari Arab lah, ngaku punya sempak sakti lah, punya ilmu sluman slumun slamet dari Mesir lah, ngaku punya simpanan bolo sewu lah, punya jenglot rambut kribo lah, segala macem...”, kali ini Jati Satebashi sengaja meledek kawan kenthirnya itu.
Arke yang tersudut hanya bisa tepok jidat!
Sementara itu Bain Nashimura dan Elang Sakurata juga cuma bisa nyengir kuda, terus berjalan sambil sesekali matanya jelalatan melihat para gadis-gadis yang sedang melangkah menuju pemandian di tepi sungai Omahari.
Sesampai di dekat jembatan, Bain langsung pamit mau buang hajat. Tapi teman-temannya sudah paham kebiasaan Bain Nasimura yang suka mengintip cewek lagi mandi. Buang hajat itu cuma alasan saja.
Bain pun dengan hati-hati merambah semak untuk mencari tempat yang tepat guna memonitor tubuh-tubuh indah nan sintal, basah dalam pakaian yang minim. Tak lama kemudian Bain merasakan ada bagian tubuh sebelah bawahnya yang mengeras.
bersambung.
Gambar :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H