Namaku Bang Pilot. Setidaknya, begitulah semua orang di lingkunganku memanggilku.
Aku adalah seorang petani kecil. Hidup secara sangat sederhana di pelosok Kabupaten Batu Bara, Propinsi Sumatera Utara.
Aku berasal dari keluarga kurang mampu, tidak mampu malah, hingga aku harus sudah bekerja saat masih duduk di bangku kelas dua SD.
Pekerjaan pertamaku di usia delapan tahun itu adalah memanjat pinang. Membelinya dari penduduk, lalu menjualnya ke agen pengumpul.
Kulakukan itu setiap hari, sesudah pulang sekolah. Sebuah sepeda tua setia menemani aku keliling kampung untuk memanjat, membeli dan menjual buah pinang.
Itu adalah sekitar awal tahun 80-an. Dan aku masih ingat, penghasilanku satu hari saat itu sekira 200 Rupiah. Buatku, jumlah itu cukup lumayan, mengingat uang jajanku hanya Rp.25 setiap harinya.
Sekarang, setelah 33 tahun bekerja, aku merasa lelah, dan ingin segera pensiun. Namun keadaan belum memungkinkan. Karena itulah aku menanam aren. Di atas tanah yang dulu kubeli dengan susah payah. Sebidang kebun mungil yang kubangun dengan hasil jerih payah yang keras dan mengharukan. Berharap tujuh tahun lagi aku bisa berhenti bekerja. Beristirahat panjang sambil jalan-jalan naik hoverboard keliling dunia.
Diatas tanah seluas 4.000 meter persegi itu kutanami dengan 300 pohon aren, dengan jarak tanam 3 x 4 meter. Kelilingnya akan kutanami dengan 200 pohon gaharu jenis aquilaria malaccensis, yang bibitnya sedang kusiapkan.
[caption id="attachment_380034" align="aligncenter" width="300" caption="Rudi, salah satu pekerjaku, sedang menanam aren."][/caption]
Sementara masih bisa dimanfaatkan, sudah kusebar 10.000 batang tangkaran bibit sawit di antara tanaman aren yang masih kecil itu.
Namun, semua itu bukan tanpa pengorbanan. Aku harus mematikan tanaman kelapa sawit yang sudah sepuluh tahun ini kurawat dengan baik, karena lahan itu sebelumnya adalah kebun sawit. Aku tak punya pilihan lain.
Aku mematikan pohon sawit itu dengan cara menginjeksikan herbisida sistemik ke dalam batangnya. Tentu saja dengan mengebor batangnya terlebih dahulu dengan bor listrik. Amma bakdu, 20 cc racun pekat rasanya cukuplah untuk menghantarkan tegakan sawit itu ke peristirahatannya yang terakhir.
[caption id="attachment_380035" align="aligncenter" width="300" caption="Mengebor batang sawit"]
[caption id="attachment_380037" align="aligncenter" width="300" caption="Menyuntikkan herbisida ke batang sawit"]
Karena penasaran untuk melakukan ujicoba, beberapa pohon diantaranya tidak dibor, tetapi dieleminasi dengan cara “akarotoxcid”. 20 cc herbisida dilarutkan ke dalam 200 cc air, lalu disusukan ke 3-4 helai akar pohon kelapa sawit itu.
[caption id="attachment_380041" align="aligncenter" width="300" caption="Menyusukan racun ke pohon sawit"]
Aku tak berharap muluk-muluk. Jika nanti 50% dari 300 pohon arenku disadap tiap harinya, dan satu pohon bisa menghasilkan 1 kg gula aren seharga Rp.20.000, maka akan ada angka 150 x 20.000 = Rp.3.000.000 di kocekku setiap harinya. Dipotong upah penyadap serta biaya lain-lain sebesar Rp.1.000.000, maka masih ada sisa Rp.2.000.000 mengisi pundi-pundiku setiap matahari terbenam, selama minimal 5 tahun, dan kalau aku masih bernyawa.
Dari 200 pohon gaharu, aku juga tak berharap banyak. Sudah cukup lumayan kalau bisa menghasilkan 1 kg gubal dan 5 kg kamedangan untuk setiap pohonnya. Jika kualitas gubal dan kamedangan itu kelas dua saja, maka berarti setidaknya uang sejumlah 200 x 4.000.000 + (200 x 5 x 100.000) = Rp.900.000.000 bisa di tangandalam masa delapan tahun.
Lha, biaya inokulasinya bagaimana? Tenang, inokulannya bikin sendiri, dan upah bornya harian saja. Paling juga habis biaya 30 HK x 70.000 = Rp.2.100.000. Gak terlalu ngaruh terhadap angka besar sebelumnya, kan?
Aku memang pengkhayal besar. Tetapi khayalanku diikuti dengan usaha yang nyata, dan perhitungan yang masuk akal. Mudah-mudahan berhasil.
Kalau berhasil, maka aku akan dapat pensiun nyaman. Sambil bermain hoverboard. Skateboard yang melayang di atas segala permukaan. Saat ini harganya masih USD 10.000. Dan hanya ada 10 unit.
Walah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H