Aku dan Pak Rohim melangkah santai menuju peladangan yang akan kami bersihkan. Hujan tadi malam menjadi modal kami menguatkan tekad. Rumput-rumput dan anak kayu itu harus segera disingkirkan. Padi dan singkong harus segera ditanam. Siap bekerja!
Kami mulai memasuki kawasan yang semak belukarnya setinggi badanku. Topografi tanahnya juga mulai mendaki. Bebukitan manis. Hamparan liat kuning berlempung campur pasir halus pun kami injak. Mereka menyambut penuh suka cita. Penuh harapan. Ukiran masa depan!
Tiba-tiba dari balik belukar terdengar suara lenguh yang sangat kuat. Ngooss..!! Pak Rohim terlonjak. Ia kaget alang kepalang. Darah sampai naik ke ubun-ubunnya. Mukanya jadi merah dengan sorot mata penuh penasaran.
Sementara itu aku refleks bergerak mengambil kuda-kuda. Siap menyerang dan bertahan dari setiap kemungkinan gempuran. Parang panjang yang sedianya akan kupakai untuk menebas semak belukar, kini teracung ke depan dalam genggaman erat kedua tanganku. Persis gaya seorang samurai yang siap adu nyawa dengan lawan terakhirnya. Maklum, aku dulu pernah juga belajar ilmu silat dari beberapa orang pendekar. Aku belajar silat Banten dari Mbah Sarman. Belajar silat Melayu dari Pak Zaharuddin Zein, dan belajar silat Banjar dari Wak Thohir.
Selang tiga detik kemudian, terdengar suara gemuruh. Bumi yang kami pijak serasa bergoncang. namun kami lega karena suara gemuruh tapak kaki itu menjauh.
“Gondit itu. Besar. Paling nggak tujuh puluh kiloan”, kata Pak Rohim kemudian.
###
Saat berjalan mengitari bukit Soetrisno untuk meneliti lapisan-lapisan tanah di pedalaman Riau itu, aku menemukan sebuah kawah kecil. Lebih mirip kubangan, tapi kering kerontang. Aku menduga itu adalah sarang sejenis hewan besar, menilik ukuran kawah itu yang berdiameter sekitar dua meter dengan kedalaman sekitar lima puluh senti. Tapi anehnya, tak satu helai pun ada bulu hewan kutemukan. Padahal biasanya ada banyak bulu dapat ditemukan di sarang berbagai macam hewan.
Aku jadi sedikit merinding. Jangan-jangan ini sarangnya dedemit penguasa bukit Soetrisno. Ia sengaja menunjukkan rumahnya padaku, agar aku tak lagi menggangu wilayah kekuasaannya.Tapi pikiran nyeleneh itu segera kutepis. Mosok ada peneliti yang percaya pada hal begituan.
Begitu turun ke desa terdekat, aku menmcari informasi tentang sarang hewan yang tadi kutemukan. Seorang tua yang faham kemudian menjelaskan bahwa itu adalah sarang atau kubangan sipan. Ia memintaku untuk menjauhi tempat-tempat yang ada kubangannya itu, demi kebaikan bersama.
###