Aku sudah lupa hari itu tanggal berapa, hanya ingat bahwa hari itu adalah hari Minggu.
***
Aku adalah seorang napi. Kasus pembunuhan. Seorang kepala preman pasar yang mencoba merebut lahan parkirku, kusabet dengan pedang samurai. Hasilnya aku divonis 12 tahun penjara. Dan di penjara inilah kini aku meringkuk. Menghabiskan hari-hari yang menjemukan.
Di dalam penjara, aku cukup disegani. Prestasiku membunuh Udin Gea, preman yang terkenal hebat dan berpengaruh di seantero kota Siantar, membuat tak ada napi lain yang berani mengusikku.
Dan kini, ‘jabatanku’ di penjara adalah kepala bagian kebersihan. Karenanya, aku berhak mendapatkan sebuah kamar yang cukup baik. Tinggal di ruang yang lumayan luas dan bersih bersama lima orang anak buahku, sesama napi petugas kebersihan.
Hari itu, Minggu, menjelang petang, azan ashar telah berlalu. Seperti biasa, setiap hari Minggu,sipir banyak yang tidak masuk kerja. Hanya ada beberapa sipir yang tetap bertugas. Di antara yang tetap masuk kerja hari itu adalah Bono Samosir. Ia adalah penjaga atau vendor pintu empat. Pintu empat adalah pintu utama paling dalam, berhubungan langsung dengan sel-sel. Bono tertidur pulas bagaikan kerbau, mendengkur di atas meja jaganya. Ia dengan mudah bisa dijangkau oleh para napi yang saat itu memang belum masuk kerangkeng. Para napi secara teratur masuk kerangkeng jam lima sore, dan keluar jam delapan pagi.
Tiba-tiba beberapa napi mendekati Bono. Mereka dari geng Pakam. Rata-rata kasus narkoba. Salah seorang dari mereka memukul kepala Bono sekuat tenaga. namun anehnya, Bono yang bertubuh tinggi besar itu seolah tak merasakan apa-apa. Ia melanjutkan dengkurnya. Beberapa anggota geng Pakam ikut memukul dan menendang Bono. Kali ini Bono hanya menggeliat lalu kembali pulas. Luar biasa sipir satu ini. Ronald, kepala geng Pakam kemudian mengambil kursi kayu, lalu menghantamkannya ke tubuh Bono. Bono pun terjaga dari tidurnya, Ia kaget, tetapi tak punya banyak waktu untuk berfikir. Serangan yang bertubi-tubi mendarat di tubuhnya harus segera diatasi. Tangan kanannya cekatan menangkap kerah baju Hendra yang berdiri di dekatnya. Sekali sentak, Hendra terhumbalang menggelosor di lantai. Namun serangan bertambah banyak. Ada sekitar 30 orang anggota geng Pakam yang merangsek. Namun Bono bukanlah makanan ringan. Meski pun ia sudah berpuluh kali dipukuli, namun tak urung lima orang penyerangnya dibuat terkapar.
Sial bagi Bono, kali ini anak-anak geng Payalombang, ikut masuk kancah pertempuran yang sudah tak seimbang itu. Geng Payalombang isinya adalah napi asal daerah Payalombang. Kebanyakan mereka adalah pencuri, bajing loncat dan beberapa penadah.
Bono terdesak hebat, hidungnya sudah mengucurkan darah.
Matanya juga sudah bengkak membiru. Saat itulah ia berteriak minta tolong. Namun tak satu pun temannya sesama sipir yang berani datang. Mereka kalah jumlah. Lagi pula, kalau pintu empat dibuka, maka situasi akan bertambah rumit. Kerusuhan bisa menyebar.
Mau tak mau aku harus turun membantu. Bono adalah salah satu sipir yang baik padaku. Kami sering berbagi rokok, dan bercerita atau main catur sampai larut malam. Sebagai kepala petugas kebersihan, aku bebas mengakses bagian mana saja dalam penjara itu, kecuali kantor Kepala LP.
“Berentii!!..”, teriakku sekeras mungkin. Bono sudah menggelosor di lantai, siap untuk disate oleh para pengeroyoknya.
Mendengar teriakanku, para penyerang tercekat. Napi narkoba dan maling memang tak sebanding dengan napi pembunuh. Hanya saja saat ini mereka menang jumlah. Tapi mereka juga tahu kalau aku juga punya geng kecil yang terdiri dari para pembunuh. Dan beberapa anggota gengku sudah mendekat. Udin Piyuk salah satunya. Ia spesialis pembunuh dan perampok toko emas. Tubuhnya pendek gempal dengan wajah hitam kelam membesi. Di tangannya sudah tergenggam sebilah pedang pendek yang buruk. Aku tahu ia membuatnya di bengkel saat kami bertugas membersihkan bengkel. Aku juga tahu ia menyimpan pedang itu di belakang wc paling ujung. Tak ada orang yang mau ke sana karena jorok dan baunya minta ampun.
Melihat situasi ini, geng Pakam dan geng Payalombang melepaskan Bono. Aku lalu menggotongnya bersama Ranto Zebua, salah satu anak buahku yang lain. Kami membawanya ke kamar yang biasa kami tempati. Ranto Zebua lalu berusaha mengobati luka-luka di tubuh Bono dengan obat oles yang ada di kotak P3K. Sementara itu Udin Piyuk dan Iyan Dagul kuperintahkan untuk menjaga pintu masuk kamar kami. Aku sendiri kembali ke pintu 4.
Saat itu kulihat kerumunan napi yang berusaha meruntuhkan pintu besi yang kuat dan berat itu. Tak sampai sepuluh menit, pintu itu akhirnya jebol.
Suasana hingar bingar. Teriakan kekesalan para napi, makian, ajakan memberontak dan bunyi kursi meja yang dibanting menyatu tanpa nada.
Penjara yang sejatinya berkapasitas 300 orang itu memang sesak karena dijejali hampir seribu napi. Dan kemarin datang tambahan 50 orang napi dan tahanan dari Tanjung Balai. Hal inilah yang memicu ketidakpuasan para napi. Mereka yang sudah terpaksa tidur dalam keadaan duduk di dalam kerengan, mungkin harus tidur dalam posisi berdiri karena makin sesaknya isi sel. Ditambah dengan parahnya mutu ransum makanan dan mahalnya harga makanan serta minuman yang dijual di kantin penjara, lengkaplah sudah dendam kesumat para napi kepada sipir penjara.
Dan para sipir kelihatannya sudah lari ketakutan semuanya. Jadilah penjara besar itu dalam kendali penuh para napi.
Ratusan napi yang berhasil menjebol pintu 4, seketika meluruk ke pintu 3. Lima menit digoyang, ditarik dan didorong oleh tangan-tangan kekar para napi yang marah, pintu 3 jebol.
Nasib yang sama dialami oleh pintu 2. Kini tinggal pintu satu, atau pintu utama terakhir. Jika pintu ini dapat ditembus, maka alam kebebasan sudah dapat diraih. Namun kelihatannya bukan alam kebebasan yang menunggu di luar sana, tapi alam kematian. Karena polisi bersenjata lengkap sudah berbaris menunggu.
Melihat gelagat ini, para napi makin marah. Mereka membakar ruang arsip. Kamar yang dipenuhi kertas itu pun dengan cepat menyala. Setelah itu gantian, blok C yang dibakar. Blok C adalah blok khusus untuk napi berkantong tebal. Koruptor, penipu kelas atas, juragan narkoba atau raja mafia bertahta di sini. Fasilitasnya terbilang istimewa untuk sebuah penjara. Masing-masing kamar ada tv dan kulkas. Juga ada kelambu, yang membuat para penghuninya tak perlu bentol-bentol digigit nyamuk seperti napi yang lain.
Asap memenuhi ruangan. Keadaan menjadi gelap. Suasana itu dimanfaatkan oleh sejumlah napi untuk memanjat tembok sebelah kiri yang memang tidak terlalu tinggi. Pagar kawat durinya juga sudah lapuk dimakan karat. Dalam satu termin, 16 orang napi lolos melarikan diri. Yang lainnya menyusul.
Aku diam saja. Sedikit pun tak ada niat untuk melarikan diri. Karena masa tahananku sudah hampir habis. Akan rugi besar jika aku ikut melarikan diri.
Tiba-tiba aku melihat Zainuddin di antara kerumunan chaos. Zainuddin adalah teman sekampungku yang juga ditahan di sini. Ia bahkan termasuk keponakan jauh aku. Segera kudatangi lalu kutangkap tangannya.
“Kau jangan ikut lari. Waktu kau tinggal empat bulan lagi. Kalau sampai kau lari dan tertangkap, kau bisa di dalam sampai dua tahun lagi !”, aku bersungguh-sungguh menasehatinya.
“Iya Bang, iya Bang...”, sahut Zai terbata-bata. Ia kelihatan sangat ketakutan.
“Udah, pergi kau ke kamar abang, bilang sama Udi Piyuk kalau Abang yang suruh!”, aku memerintahnya.
Zai tak menyahut, ia hanya segera berlari menuju ke dalam. Aku mengawasinya hingga hilang di tikungan ujung.
Bersambung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H