Mohon tunggu...
Bang Pilot
Bang Pilot Mohon Tunggu... Konsultan - Petani, penangkar benih tanaman, konsultan pertanian.

Nama asli : Muhammad Isnaini. Tinggal di Batu Bara, Sumut. Hp/wa.0813 7000 8997. Petani dan penangkar bibit tanaman. Juga menjadi konsultan pertanian lahan gambut. Pemilik blog : http://bibitsawitkaret.blogspot.com/ . Menulis apa saja yang bisa bermanfaat.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bolehkan Ulama Kita Berpolitik?

8 Mei 2013   12:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:54 1849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bolehkan Ulama Kita Berpolitik?

Bolehkah ulama berpolitik? Lalu mejadi pemimpin?

Jawabannya : TIDAK BOLEH !

Mengapa?

Dalam konsep Islam, seorang Amirul Mukminin atau pemimpin ummat, adalah seorang Khalifah. Khalifah ini dipilih oleh para cerdik pandai yang berilmu tinggi, berwawasan luas dan beriman mantap, yang hidup pada saat itu.Tidak sembarang orang bisa masuk dalam lingkaran ini. Ada pun syarat bagi orang yang bisa masuk ke dalam lingkaran ini adalah : laki-laki, muslim, mukmin, dewasa, adil, memahami Qur’an, memahami Hadist, tidak tercela, tidak mencintai dunia, tidak pernah melakukan dosa besar dan tidak mengekalkan perbuatan berdosa kecil, dan jelas asal-usulnya, serta dikenal oleh orang ramai.

Memilih pemimpin, bukanlah perkara biasa. Ini adalah perkara yang sangat penting, karena menyangkut kehidupan banyak orang untuk waktu yang lama. Untuk memilih pemimpin, mencari yang terbaik di antara yang baik-baik, juga bukanlah perkara mudah. Diperlukan pemahaman yang mendalam, dibutuhkan kearifan yang tinggi. Karena itulah, maka di dalam konsep Islam, pendapat orang awam dan orang bodoh dalam hal memilih pemimpin haruslah diabaikan. Mengapa? Karena orang awam tidak memahami masalah, dan orang bodoh cenderung melukai dirinya sendiri.

Bila seorang Khalifah sudah diangkat, maka semua pihak haruslah tunduk patuh kepada keputusan yang sudah dibuat. Sebagai tanda patuh setia itu, dilakukanlah bai’at.

Seorang Khalifah tidak boleh diganti, tidak boleh ditentang, selagi ia masih bernyawa dan tidak melanggar ketentuan-ketentuan Allah Azza wa Djalla. Terkenallah ucapan seorang Khalifah pengganti Nabi SAW : “Patuhilah oleh kamu akan aku, selama aku berada di jalan Allah, dan luruskanlah aku dengan pedangmu, bila aku menyimpang dari ketentuan Allah.”

Luruskanlah aku dengan pedangmu, bermakna : bunuhlah aku. Tetapi tentu saja hal ini tidak boleh diterapkan tanpa pengkajian yang menyeluruh lagi adil.

Lalu, bagaimana dengan keadaan kita sekarang ini?

Sekarang ini kita sudah tidak memiliki ulama. Atau hampir tidak memiliki ulama. Yang kita miliki sekarang ini kebanyakan adalah para sajjana (bukan sarjana) agama, tetapi ia hidup jauh dari jalan yang ditetapkan Allah Azza wa Djalla. Ulama kita saat ini adalah sekumpulan orang yang membentuk lajnah, lalu menjual agamanya dengan harga yang sangat murah. Yang kita lihat saat ini adalah orang yang bertitel lulusan Kairo, membentuk berbagai-bagai partai politik, lalu berbuat kezaliman.Yang kita miliki sekarang ini adalah ulama artis, yang melakukan tausiyah, populer di stasiun-stasiun tv, lalu hidup bermewah-mewahan, selagi masih banyak ummat yang meregang nyawa karena lapar di sekitar.

Terkenallah seorang Umar ibnu Khattab, yang memikul sendiri karung gandum untuk seorang ibu dan anak-anaknya yang kelaparan di tengah gulita padang pasir. Atau pun seorang Khalifah (Umar bin Abdul Aziz) yang bersumpah tidak akan makan sebelum ia tahu bahwa semua rakyatnya sudah makan.

Lalu bagaimana kedudukan ulama bila keadaannya begini?

Ulama harus kembali ke khittahnya. Ulama harus balik mengkaji keberadaannya. Ulama harus bertaubat. Membersihkan diri dan namanya dari segala macam daki dunia yang terlanjur sudah mengotori dan mencoreng moreng nama ulama. Ulama wajib memperbaiki imannya, lalu membentengi diri dari nafsu duniawi yang pernah menjebak lalu menghinakannya.

Apa semua ulama kita begitu?

Tidak.

Tetapi ulama yang termasuk kategori ulama akhirat, ia tidak pernah mau lagi muncul ke permukaan zaman yang zalim ini. Ia melaksanakan wasiat dari Ibnu Umar : pandailah dalam fiqh, lalu jauhilah manusia. Ia adalah ulama yang hidup dengan sederhana, tidak makan kecuali hasil tangannya sendiri, dan tidak pernah mau disorot kamera televisi, karena ia tahu, hukum asal dari membuat gambar mahkluk bernyawa adalah haram.

Ia adalah seorang lelaki yang selalu menjaga dirinya dari perbuatan tercela, apalagi dari perbuatan berdosa.

Ia adalah seorang lelaki yang tidak mau berbicara dengan perempuan yang bukan muhrimnya, karena ia tahu bahwa suara perempuan adalah salah satu auratnya. Ia adalah seorang lelaki yang tak pernah mau memperdengarkan suara merdunya saat membaca Qur’an, karena ia benar-benar memelihara hatinya dari sifat summ’ah, ujub dan riya.

Ia adalah seorang lelaki yang selalu berusaha berbuat adil bagi istri-istri dan anak-anaknya, dan ia menjaga mereka dengan sebaik-baiknya. Ia adalah lelaki yang apabila ditanyakan sepuluh pertanyaan, maka ia menjawab satu masalah, dan mengabaikan sembilan masalah.

Ia adalah seorang lelaki yang tidak butuh kepada ummat, tetapi ummatlah yang butuh kepadanya. Ia tidak butuh kepada penguasa, tetapi penguasalah yang takut kepadanya.

Ia adalah lelaki yang tiada takut mengatakan kebenaran, dihadapan penguasa yang zalim lagi kejam tak berperikemanusiaan. Ia adalah lelaki yang dilindungi Allah SWT, hingga seekor binatang buas yang lapar pun tak berani mengusiknya. Ia adalah seorang lelaki yang dianugerahi hikmah, karena kesucian hati, lidah dan perbuatannya.

Seorang ulama ahli akhirat itu, hanya takut kepada Allah. Ia tidak takut kepada neraka, karena hakikat neraka hanyalah mahkluk. Ia tidak ingin kepada surga, karena surga hanyalah kesenangan yang dijanjikan, sedangkan sebaik-baik tempat kembali ialah kepada Allah sang maha pencipta.

Adakah kamu sekalian menjumpai seorang lelaki yang begini?

Jika ada, maka bai’atlah ia menjadi pemimpinmu.

Jika tidak, maka jangan biarkan orang-orang yang mengaku ulama menjadi pemimpinmu, lalu ia menodai agama itu dengan perbuatannya yang menjijikkan.

Jika kamu harus memilih pemimpin yang baik dari segerombolan orang yang buruk-buruk, maka aku berlepas kepada Allah akan masalahmu.

Satu hal lagi, adapun orang-orang (pemimpin) yang tidak menjaga kehormatannya, maka tiada mengapa bagimu menghujatnya, karena ia adalah orang yang tidak punya kehormatan. Setiap muslim wajib menjaga kehormatan saudaranya; tetapi orang-orang yang tidak memiliki kehormatan, apanya yang harus dijaga?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun