Pilihan raya sudah di depan mata. Kampanye sedang seru-serunya. Politik uang pun diduga kian deras mengalir. Satu suara diduga dihargai antara Rp.50.000 sampai dengan Rp.100.000
Koordinator diduga kebagian Rp.20.000 per suara yang berhasil digaetnya. Dan suara para saksi diduga dibeli dengan harga sedikit lebih mahal.
Apa? Butuh bukti? Maaf, aku tak bisa dan tak mau berikan. Karena semua koordinator adalah penduduk setempat. Tetanggaku. Saudaraku. Lagi pula itu bukan tugasku. Ada Bawaslu. Macan ompong yang cuma bisa menakuti anak kecil. Karena kebanyakan produk akhirnya cuma rekomendasi. Yang bisa saja diterapkan KPU, bisa juga hanya masuk mesin penghancur kertas.
Bagi-bagi uang, sembako, baju dan hiburan, semuanya itu adalah biaya yang akan ditanggung kembali oleh rakyat. Berkali-kali lipat. Kau tak percaya? Tunggu saja tanggal mainnya. Saat para politisi menjual pulau, menggadaikan hutan, menguras tambang mineral, menghisap habis minyak bumi, lalu membebani rakyat dengan ratusan pajak yang tak jelas pertanggungjawaban penggunaannya.
***
Sekarang aku tanya kepadamu, Pemilu ini untuk siapa? Apakah benar untuk demokrasi rakyat, atau cuma untuk melanggengkan kekuasaan dan penindasan para politisi terhadap rakyat jelata sial yang tengah terengah-engah mencari sesuap nasi pagi dan petang?
Kau tahu berapa banyak uang rakyat yang telah dikorupsi oleh para politisi busuk laknat itu?100 trilyun? 1.000 trilyun? 20 kontainer uang pecahan seratus ribuan rupiah?
Kau tahu berapa banyak lagi yang akan dikorupsi oleh politisi yang akan kau pilih nanti?
Kau pilih dia, bisa saja sama artinya dengan kau hantarkan ia ke ruang tahanan KPK.
Satu hal yang kukatakan kepadamu : kau turut bertanggung jawab atas semua kelakuannya, karena kau telah memilih pemimpin dengan sembarangan. Tanpa ilmu. Tanpa pertimbangan yang cukup. Termakan rayuan gombal iklan kampanye yang menipu. Kau memilih yang berani bayar mahal.Dan kautak maumendengar nasehatku.
Aku memang pesimis. Meski masih sedikit optimis. Aku pesimis berdasarkan pengalaman berpuluh tahun hidup di bumi pertiwi ini. Dijajah oleh bangsa sendiri. Pemimpin yang jadi boneka kepentingan asing, dan menjadi budak keserakahan nafsunya.
Lalu bagaimana? Terserah kau sajalah. Aku tak punya solusi. Sistim demokrasi yang parah seperti ini tak punya harapan lagi. Demokrasi kapitalis yang hedonis dan oportunis.
Wis, aku rapopo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H