Membaca sejarah perjuangan para pendiri bangsa ini, tak terasa air mata haru menetes perlahan. Terutama saat bagian :
‘Bung Karno mengundang Soedirman yang sedang bergerilya di hutan-hutan untuk menghadap ke istana. Beberapa perwakilan asing akan datang menyambangi dan menilai republik muda ini. Juga untuk membicarakan masalah kelangsungan negara, karena Belanda akan menangkap presiden. Karena Bung Karno tahu bahwa sang jenderal tak punya pakaian yang layak, maka Bung Karno mengirimkan sepotong kain, lewat kurir, untuk kemudian dijahit sesuai ukuran tubuh Panglima Besar. Kopral Soetopo kemudian memisahkan diri dari rombongan, untuk mencari penjahit bagi seragam baru komandannya. Sambil mencari informasi terhadap pergerakan 125.000 lebih tentara Belanda, yang tengah berusaha keras mencari dan akan menghabisi ‘the great iel komandante’.
Sosok tubuh Soedirman kini kurus kering karena digerogoti penyakit TBC. Paru-parunya tinggal sebelah. Tubuhnya sudah demikian lemah, hingga kemana-mana harus ditandu. Namun, beliau tetap gagah, bergerilya menembus hutan-hutan yang penuh dengan hantu pencabut nyawa; bernama nyamuk malaria.
Akhirnya, kolonel yang meloncat jadi jenderal ini pun bisa menghadap ke Djakarta pada 10 Juli 1949, setelah melewati rute yang sangat dirahasiakan. Menyusuri jalanan yang terjal dan penuh tantangan. Sebagian adalah rawa-rawa dalam yang penuh dengan lumpur hidup.
Di depan pintu istana, Bung Karno bangga sekali menyambut Panglima Besar, yang datang dengan mengenakan pakaian barunya. Sebagian yang lain malah terharu, karena baju baru tadi dibalut oleh sebuah mantel lusuh yang sudah usang’*
Begitulah secarik kisah perjuangan para pendiri bangsa ini. Mereka tak kenal lelah, dalam kondisi paling payah sekali pun, tetap teguh dan ikhlas berjuang, merebut dan mempertahankan kemerdekaan Repoeblik Indonesia.
Ada ribuan nama mereka, yang kini terukir dengan tinta emas, di hati sanubari generasi penerusnya. Ada ribuan mereka, yang tubuhnya terbaring di antara Kerawang-Bekasi. Dan jutaan pejuang yang lainnya, tulang berserakan sepanjang Sabang-Merauke.
Berapa banyak di antara mereka yang anda kenal? Tiga orang? Atau sepuluh? Atau seratus? Ingat, jasmerah! Jangan sekali-kali melupakan sejarah, kata Bung Karno.
***
Membaca kisah sepak terjang para politisi, pejabat dan pemimpin kita saat ini, maka kening langsung berkerinyit. Ada nama Panda Nababan, Max Moein, Emir Moeis, LHI, Nazaruddin, Anas Urbaningrum, Angelina Sondakh, Hartati Murdaya, Rusli Zainal, Komjen. Susno Duadji, Zulkarnaen Djabar, Rudi Rubiandini, Irjen Djoko Susilo, Andi Malarangeng, Akil Muchtar, Budi Mulya, Ratu Atut, dan ratusan lagi. Umumnya mereka kini menghuni tahanan KPK atau sudah dipindah ke penjara.
Beberapa pejabat lain yang kedudukannya lebih tinggi, bahkan sudah disebut-sebut namanya oleh saksi persidangan. Tinggal menunggu lengser, lalu langsung diseret ke pengadilan. Lebih baik lagi kalau setelah itu, digeret ke kamar gas beracun, atau eksekusi di kursi listrik.
***
Jika dulu para pemimpin kita dipenjara karena memperjuangkan kemerdekaan bangsa, kini para pemimpin kita dipenjara karena memperjuangkan kekayaan pribadinya. Sungguh sebuah pemandangan yang berbanding terbalik dan menyakitkan hati.
Kini, suri tauladan apalagi yang bisa dipetik oleh generasi bangsa?Siapa lagikah tokoh bangsa yang bisa dijadikan tali pegagangan saat anak bangsa meniti sejarahnya?
Yang tersisa hanyalah politisi dan pejabat korup. Yang ada tinggallah wajah-wajah pejabat yang tersenyum dan melambaikan tangan di depan gedung KPK.
Eh, kan masih ada banyak yang lainnya, yang bersih dan penuh pengabdian?
Preet!
Kalau nilanya setitik, aku masih penasaran. Tapi ini, nilanya tiga belanga, susunya yang satu belanga. Rusak semuanya!
Lagi pula, siapa yang percaya mereka korupsi sendirian? Siapa yang tak menduga, kalau uang korupsi itu akan dibagi-bagi, sampai ke pusat pimpinan?
Akil Muchtar menikmati uang hasil korupsinya sendirian?
Cis! Sumpah mati aku tak percaya!
Kelakuan para politisi yang suka memperkaya diri membabi buta itu, membuat aku muak dan malu. Kebiasaan para politisi yang korupsi ratusan, bahkan mungkin ribuan triliun rupiah itu, membuat aku semakin tak percaya pada penyelenggara negara ini.
Seekor tikus got sekali pun, masih jauh lebih baik dari pada seorang koruptor. Tikus tak pernah mencuri untuk tujuh keturunannya. Paling ia hanya mencuri sebatas ukuran isi perutnya hari itu. Jadi, jangan menghina tikus dengan menyamakannya dengan koruptor.
Pemimpin dan politisi koruptor itu, tidak ada yang lebih buruk dari pada mereka. Mereka paling pantas diseret ke tiang gantungan, setelah dirampas seluruh hartanya dan harta orang lain yang berasal darinya.
April 2014 ini, sebagian dari mereka kini masih berkuasa. Memegang kendali atas negara dan juga penegakan hukum. Membungkam pers dan menyuap wartawan.
Tinggallah Bang Pilot, dan beberapa gelintir penulis lain, yang masih setia menyuarakan
pemberontakan. Berontak melawan jemaat koruptor yang sudah menggurita menguasai istana sampai pelosok penjuru negeri.
Anda mau ikut memberontak, atau malah ikut mendukung dan memuji-muji politisi busuk itu?
*Dikutip dari buku Twelve Amazing Indonesian Founding Fathers, written by Bang Pilot, 2004, unidentified.
Gambar :
https://rosodaras.files.wordpress.com/2012/07/bung-karno-dan-jenderal-sudirman.jpg
http://static.inilah.com/data/berita/foto/1187692.jpg
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H