Membaca dan memahami tulisan Fandi Sido yang bertitel "Cerita di Balik Verifikasi Biru", ada sebuah pencerahan yang mengejutkan.
Mulanya, saya mengira bahwa centang biru diberikan kepada Ker's yang punya spesialisasi dalam kepenulisan. Ternyata tidak. Centang biru diberikan kepada mereka yang tulisan-tulisannya dianggap dapat dipercaya, berita-beritanya shahih, perawi-perawinya tsiqoh, dan paparan-paparannya adalah kebenaran.
Jika dibalik, maka Ker’s yang tidak bercentang biru, adalah mereka yang tulisan-tulisannya tak bisa dipercaya, berita-beritanya do’if, perawi-perawinya ditinggalkan, dan paparan-paparannya adalah bukan kebenaran, namun tulisan-tulisannya diterbitkan juga, agar Kompasiana bisa tetap menjadi “The Biggest Indonesian Citizen Journalism”.
Buat saya pribadi, menjadi biru, hijau atau merah, atau non centang sama sekali, bukanlah masalah. Si biru bukanlah pemilik kebenaran, dan yang masih hijau bukanlah pendusta. Kita bisa saja berkata benar di suatu waktu, lalu berbohong di lain hari.
Hakikatnya, disadari bahwa pemberian centang biru itu adalah atas dasar pertimbangan yang cukup mendalam dari admin. Dan menjadi pagar bagi yang dianugerahi, agar tetap menjaga status kebangsawanannya itu. Tak boleh menulis selain kebenaran.
Meski demikian, tak berarti yang masih hijau atau yang belum punya centang boleh sesuka hati menulis tanpa dasar fakta dan/atau dasar logika yang waras. Kita bersama, haruslah menjaga marwah dan daulat Kompasiana ini, agar makin terpercaya di mata public yang memelototinya setiap menit dan hari.
***
Karena tak mungkin bersaing dengan media mainstream dalam hal pemberitaan, maka Kompasiana harus memiliki nilai lebih yang mampu membuatnya unggul. Apa itu? Manfaat. Tanpa tulisan yang bermanfaat, maka akan sulit membuat Kompasiana mampu bertahan di jajaran atas rating Alexa.
Saya sendiri tak tahu seberapa bermanfaat tulisan saya di Kompasiana ini. Apalagi kebanyakan tulisan saya hanyalah igauan ngelantur seorang penulis kenthir.
Namun, sejak menulis lebih dari empat tahun lalu, di berbagai media, sudah ada ratusan, mungkin ribuan telepon yang saya terima dari para pembaca. Umumnya mereka adalah peminat pertanian. Bertanya tentang pendalaman hal-hal yang saya uraikan di rubric agrobisnis.
Pertanyaan mereka mulai hal-hal yang ‘sepele’ semisal menanyakan berapa jarak tanam aren yang baik, jenis tanah yang cocok buat kultur tertentu, takaran pupuk yang pas buat tanaman sawit pada tanah podsolik kuning dengan ph 5,7, sampai dengan yang lumayan berat semisal diskusi tentang formula inokulan pembentuk gaharu.
Coba simak isi pembicaraan pertelepon saya dengan seorang pembaca Kompasiana berikut ini :
“Bang Pilot, saya sudah buat inokulan seperti yang bapak tulis, sudah saya terapkan, dan sudah ada kelihatan hasil berupa perubahan warna pada kayu gaharu itu, dan sudah saya bakar, ada wangi, tapi cuma sedikit. Apa yang harus saya lakukan lagi?”.
Saya jawab : “Tunggu tiga bulan lagi, perhatikan daunnya. Jika daun sebagian tampak layu lalu pulih kembali, periksa kayu dekat lubang yang dibor. Jika ada batas yang jelas antara gubal dengan kayu, maka berikan inducer. Nanti resep inducer saya emailkan. Jika batasnya samar, maka biarkan dulu. Jika daun tidak layu, maka lakukan inokulasi sekali lagi. Awasi juga adanya pelapukan di tepian gubal yang sudah terbentuk. Terus kabari saya perkembangannya ya pak”.
“Oke, terima kasih banyak ya pak Bang Pilot”.
***
Nah, sekarang, seberapa bermanfaatkah tulisan-tulisan kita?
Anda boleh hijau, atau anonym sama sekali, tapi cobalah untuk menulis sesuatu yang nyata bermanfaat buat orang lain. Setidaknya itu bisa menjadi sedekah jariyah, yang pahalanya mengalir sepanjang masa, bahkan sesudah Anda beristirahat dengan tenang di alam baqa.
Mari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI