Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Visi Sang Rajawali Afrika

30 April 2010   19:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:29 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

[caption id="attachment_130411" align="aligncenter" width="300" caption="Kol. Muammar Gaddafi (http://www.mmandc.com/files/8a3v6412.jpg)"][/caption]

Sebenarnya sudah lama saya ingin menulis mengenai visi pemikiran Pemimpin Libya, Kol. Muammar Gaddafi, walau dalam beberapa tulisan di Kompasiana ada juga saya selipkan berbagai pandangan beliau mengenai Afrika, dunia Arab maupun keislaman. Bahkan saya sering katakan bahwa Kol. Gaddafi merupakan sedikit diantara pemimpin Arab yang sangat visioner.

Dalam kesempatan ini saya ingin postingkan beberapa percikan pemikiran Sang Rajawali Afrika tersebut, terutama dalam pidatonya di depan Konferensi Persatuan Universitas Arab ke-43 yang diadakan di Sirte, Libya bulan April 2010 ini. Dalam kesempatan tersebut, Kol. Gaddafi menyerukan kepada peserta untuk menerapkan teks-teks suci Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yaitu agar umat Islam mengambil alih dan bertanggungjawab pada perhatiannya dengan masalah sains dan ilmu pengetahuan. Karena ayat Al-Qur’an dan juga Nabi sudah banyak berpesan mengenai soal pengambilalihan dan penguasaan ilmu pengetahuan. Dalam salah satu sabda, Baginda nabi sudah berpesan bahwa ‘menutut ilmu pengetahuan dan sains itu wajib bagi setiap Muslim, laki-laki maupun perempuan’. Akan tetapi, menurut Gaddafi, bangsa Arab (Muslim) tidak menjalankan pesan Sang baginda, bahkan meninggalkan dunia ilmu pengetahuan dan saat ini cenderung pada hal-hal yang bersifat eksoterik sehingga menjadi terpinggirkan oleh sejarahdan menjadi ‘umat yang ditertawakan oleh bangsa lain karena kebodohan.

Lebih lanjut, Gaddafi memperingatkan dengan mengatakan bahwa ‘kita adalah bangsa yang menghabiskan miliran dolar setiap tahun(konon US $ 60 miliar pertahun) pada proyek-proyek yang tidak berguna, yaitu membeli persenjataan tanpa bisa menggunakannya, sehingga karatan dan rusak’, disaat yang sama bangsa lain sudah memproduksi senjata biologi yang lebih canggih. Tapi di lain pihak, bangsa Arab hanya menganggarkan cuma US $ 600 juta untuk riset ilmiah; bahkan sebuah Universitas di negara Arab hanya memberikan 1 % saja dari anggaraanya untuk riset ilmiah, sedangkan di AS sudah mencapai sekitar 40 %. Hal ini yang menyebabkan Universitas di dunia Arab terjerumus ke ranking di bawah 500 diantara universitas kelas dunia. Di lain pihak, begitu gugat Gaddafi, para ilmuwan Arab dibajak atau terjadi ‘brain drain’ ke negara maju. Selain itu juga, adanya stasiun TV di dunia Arab, hampir lebih dari 600 buah yang dijejali dengan artis film dan penyanyi bahkan olahragawan yang mendapat perhatian, tapi sebaliknya tidak ada penghargaan bagi ilmuwan.

Dunia Arab masih tetap terbelakang dalam dunia sains dan ilmu pengetahuan. Dalam sensus juga keadaannya sangat miris dimana setiap satu juta orang Arab, cuma1 orang yang periset, sedangkan di negara lain setiap 1 juta warga, sebanyak 2 hingga 3 ribu orang periset. Begitu pun di dunia penerbitan buku, Negara Arab Cuma 7 % saja, dan penggunaan internet hanya 1 %. Begitu juga terjemahan dunia Arab menjadi kebudayaan ‘gelap’, sehingga peristilahan sains yang lahir setiap hari tidak ada padanannya dalam bahasa Arab. Begitupun dalam dunia pendidikan, dunia Arab tidak kalah menyedihkan, dimana buta huruf masih merajalela, kendati anggaran pendidikan cukup besar. Selain itu juga, jumlah wajib sekolah masih rendah di kalangan usia belajar, dan adanya dikhotonomi pendidikan antara laki-laki dan perempuan. Sedangkan ‘gap’ antara pendidikan di dunia Arab dengan di negara maju masih jauh bagaikan antara ‘langit’ dan ‘bumi’ sebagaimana dilansir oleh majalah Economist, London.

Bagaimana dengan Indonesia, gapnya bagaikan ‘langit ke tujuh’ dengan ‘kedalaman lautan’. Hahahaaaaaaa

Salam, peace, syaloom….

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun