[caption id="attachment_133925" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] Saya yakin pasti banyak diantara Kompasianer yang tercengang membaca judul diatas. Tidak terkecuali juga saya termasuk yang tercengang itu. Tapi itu yang saya baca dari sebuah atikel yang ditulis oleh penulis dan wartawan Arab Saudi, Ahmad Adnan, di harian Al-Hayat, edisi 5 Mei 2010, yang berudul, 'Al-Ilmaniyah ka Khiyar Saudi: al-Masahah bayna al-Mumkin wa al-Dharurat' (Sekularisme Sebagai Pilihan bagi Saudi: Medan antara Mungkin dan Keharusan). Penulis membuat judul tersebut berdasarkan 3 buah alasan. Pertama, keterangan Menlu Arab Saudi, Pangeran Saud Al-Faisal, yang merupakan Menlu terlama di dunia hingga saat ini, pada tgl. 14 Maret 2010 kepada New York Time yang mengatakan bahwa, 'Arab Saudi sekarang terbebas dari belenggu masa lalu dan beranjak menuju masyarakat liberal'. Kedua, berita yang beredar baru-baru ini mengenai seorang warga Arab Saudi yang meminta suaka politik ke New Zealand karena memeluk agama Kristen; dan ketiga, 'perang' antara kelompok liberal dengan fundamentalis Islam di medan media dan surat kabar Arab Saudi. (Saya jadi teringat acara tadi malam, 4 Mei 2010, di TV Al-Jazeera pada program 'Al-Ittijah al-Mu'akis' (Pro-Kontra) yang diasuh oleh Dr. Faisal Qasim dalam debat yang menghadirkan tokoh 'Ketua Dialog Antar Peradaban Bahrain, Sayyid Dhiya Musawi dan Tokoh Fundamentalis Arab Saudi, Dr. Muhsin Awaji). Pengenai soal, apa itu sekularisme, Sekularisasi, dsb, secara umum, yang juga dibahas oleh penulis, saya tidak kemukakan disini karena sudah dapat difahami makna dan maksudnya. Penulis menjelaskan dalam konteks Arab Saudi bahwa "ketika berbicara tentang sekularisme di Arab Saudi yang sistem politiknya dijalankan berdasarkan penerapan Kitab Suci Al-Qur'an dan Hadits Nabi, maka sesungguhnya artinya ialah mengkhususkan nilai-nilai yang diambil dari Kitab Suci dan Sunnah atau selama tidak bertentangan antara yang satu dengan yang lain, yaitu menegakkan keadilan, menjamin kebebasan rakyat dan penduduk, baik hak-hak sipil mereka maupun rasa aman. Adapaun asas syar'iyat kekuasaan (penguasa) maka didasarkan pada keredhaan penduduk dan rakyat menerima sistem tersebut berjalan. Selanjutnya, sekularisasi sistem politik pemerintahan adalah percaya dan yakin kontrak sosial secara hakiki antara sistem politik dan rakyatnya". Dalam sistem pendidikan, lebih jauh penulis mengatakan, "masalah sekularisasi pendidikan di Arab Saudi, artinya kebebasan rakyat dan hak mereka menentukan pendidikan agama yang diterima bagi anak-anak mereka secara kualitatif maupun kuantitatif. Disini harus adanya pembebasan (bebas) dari konflik 'mayoritas-minoritas' (misyalnya kelompok Syiah yang banyak terdapat di Arab Saudi Timur), begitu juga bebas dari  'konflik' antara mazhab fikih Sunni (Hambali, Hanafi, Syafi'i, Maliki, dll); begitu juga antara mazhab teologi Sunni antara Asy'ariyah, Maturidiyah maupun Salafiyah (Wahabiyah). Seiring dengan ini, menjunjung metode posisi ilmu-ilmu aqliyah (rasionalisme) maupun ilmu-ilmu agama ke dalam poisis yang sebenarnya dalam rangka menuju kebangktan dan keadaban". Tapi kapan hal itu benar-benar terwujud??? Kita lihat saja.... salam peace
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H