Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Renungan Puasa: Makna "Allahu Akbar"

24 Agustus 2010   10:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:45 508
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Lafaz "Allahu Akbar" merupakan lafaz Takbiratul ihram ketika seorang muslim mengikrarkan permulaan salat. Tanpa pengungkapan lafaz Jalalah tersebut maka salatnya tidak sah dan tidak termasuk perbuatan salat. Salat itu sendiri adalah perjumpaan antara seorang hamba yang bersimpuh di depan Sang Pencipta, kekasihnya. Namun bagaimana makna "Allahu Akabr" tersebut. Adakah kehaibatan (keagungan) makna dibalik lafaz "Agung" tersebut. Coba kita perhatiakan dan tilik sejenak.

Kalau kita memposisikan diri kita atau manusia itu besar. Iya, betul bila dibandingkan dengan semut. Namun, kita menjadi kecil bila dibandingkan dengan rumah. Rumah menjadi kecil bila dibandingkan dengan gedung bertingkat. Lokasi gedung bertingkat menjadi kecil bila dibandingkan dengan lokasi DKI. Lokasi DKI menjadi kecil bila dibandingkan dengan lokasi RI. Lokasi RI juga menjadi kecil bila dibandingkan benua Asia, dan benua Asia menjadi kecil bila dibandingkan dengan bola dunia, dan bola dunia menjadi kecil bila dibandingkan dengan jagat raya, dan jagat raya menjadi kecil dibandingkan dengan ARASY ALLAH SWT. Dimanakah manusia dan kita semua itu. Hanya sebuah titik, noktah dan debu dibandingkan itu semua. Itulah makna lafaz jalalah "ALLAHU AKBAR" dalam pengungkapan Takbiratul Ihram setiap kali kita menghadap kehadirat Allah swt sebagai pengakuan kekerdilan dan kedekilan kita yang hanya secuil, tidak ada artinya, dan nista, dsb. Maaf, yang bila kita bandingkan dengan penglihatan kita kepada mahluk sangat kecil dan jijik dibandingkan besar badan kita seperti semut, insek, dsb.

Maka apakah ada kesombongan yang perlu kita banggakan. Tidak ada sama sekali. Malu rasanya semua kesombongan tersebut di muka Jalalah Allah swt. Maka, masih kita inkar dan tidak mau beribadah dan mengabdi pada-Nya.? Kebangetan. Hanya Iblis saja yang mengatakan hal itu. Bila manusia mengatakan iya, mungkin boleh jadi hanya rupa saja manusia, namun hakikatnya iblis sebagaimana difirmankan Allah sebagai 'minal jinnati wannaas". Apakah kita masih mau menjadi liberal thinker, freedomfaitht, dsb, sebagaimana yang ada di sebagian para Kompasinaer. Maaf.

Sungguh malu aku ya Allah. Ampunilah diriku Ya Allah. Aku hanya sebuah noktah hina di hadapan-Mu Ya Allah. Terimalah ibadahku Ya Allah....amien

salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun