Kegaduhan tiba-tiba terjadi di sebuah rumah. Di tengah kegelapan malam yang sunyi, di sebuah desa sebuah rumah yang dihuni oleh pembesar desa terdengar suara-suara rIbut. Bising dan gaduh. Ada suara orang bertarung. Kedebag kedebug. Beberapa saat kemudian ada suara teriakan orang minta tolong. "Tolonggggggggggggg", suara seorang perempuan menyeruak di tengah kegelapan malam.
Penduduk sekitar rumah pejabat tersebut juga berdatangan. Ketika mereka datang, ada tubuh bersimbah darah dan diikuti teriakan dan jeritan seorang perempuan. Ternyata ada perampokan di rumah itu. Sekelompok penjahat merampok rumah dan isinya yang menewaskan si tuan rumah. Beberapa harta kekayaan pun sempat dibawa perampok. Simpanan emas, uang kontan dan barang-berang berharga lainnya raib digondol. Menyisakan rumah yang porak poranda dan belingsatan.
****
"Mad, kamu tidak mensalatkan jenazah Pak Endo di Musalla", tanya Rahmat kepada Somad sahabatnya.
"Gak ah. Ngapain salatain orang itu", jawab Somad sekenanya.
"Memangnya kenapa", desak Rahmat lagi.
"Saya gak mau. Kalau kamu mau salatkan dia, sudah sana pergi", kata Somad.
"Aku Cuma ingin tau saja, kenapa kamu gak mau salatin", kata Rahmat masih ingin tahu.
"Begini, Endo Gendut itu, orangnya kan culas dan gak peduli sama orang lain. Apalagi sama orang yang merasa lebih rendah dari dia. Coba kamu inget ketika ibunya si Emon wafat dan diundang untuk mensalatkan, dia tidak mau. Padahal dia ada di sebelah orang yang mensalatkan. Cuma karena si Emon orang miskin, pembantu rumah tangga. Tapi kalau orang besar yang punya acara dia pasti dating dan mencari muka, bermanis-manis. Saya tidak suka perangai orang seperti itu. Seperti anjing, suka menjilat-jilat. Gendut itu juga merasa orang yang gak punya dosa. Coba tengok, ketika salat Idul Fitri, sehabis salat semua orang pada salaman minta maaf, ini malah negloyor dan tidak pernah meminta maaf pada orang lain. Sombong bangat kan. Udah gitu pelit lagi sama orang dan belagu", begitu alasan Somad kenapa dirinya tidak mau ikut mensalatkan Pak Endo yang biasa dipanggil Gendut oleh kawan dekatnya.
Rahmat bingung juga membujuk kawannya tersebut. Lebih lanjut dia bilang, 'Soal perbuatan dan perangai dia kan adalah antara dia dengan Tuhan. Bukan urusan kita. Dosa yang dia perbuat juga urusan dia dengan Tuhan. Terserah Tuhan, apakah mau dipanggang di neraka, mau dicincang kek, mau ditusuk dari pantat, mau direbus, itu urusan Tuhan dengan dia. Bukan urusan kita. Kita sebagai manusia juga punya kapasitas sebatas memohonkan ampunan. Itupun bila Tuhan mengabulkannya. Bukan urusan kita", Rahmat memberikan alasannya seolah-olah seorang ustaz sedang menceramahi jamaah.
Somad lama-lama termenung juga. "Bener juga pikirnya jalan narasi Rahmat ini, kawan yang dia kenal baik sejak dulu".
'Jadi gimana, masih gak mau nich', desak Rahmat.
'Tunggu dech sebentar. Oke dech karena kamu Mat, saya mau ikut. Kalau bukan karena kamu saya terus terang males mau salatkan orang model begitu. Terlalu sombong dan menghina orang kecil semasa hidupnya. Seharusnya memang dia mendapatkan perlakuan yang setimpal dengan perbuatan. Orang yang tidak peduli, untuk apa kita pedulikan. Kan seri jadinya".
****
Kisah diatas adalah ilustrasi bahwa betapa kehormatan seseorang tidak dapat dibeli dengan uang. Seseorang yang karena keangkuhan, kesombongan, perangai keji, penjilat, takabur, dsb, pokoknya akhlaknya tidak bagus, akan mendapatkan hal setimpal di tengah masyarakatnya.
Saya secara pribadi menemui di kampung orang yang punya perangai seperti itu. Sangat sombong dan bangga dengan seoalh-olah merasa kaya. Kalau naik mobil, kakinya diselonjorkan di atas dashboard. (Masya Allah). Sebagai masyarakat tradisional yang biasanya malam mingguan pergi ngaji ke desa lain dengan seorang kiayi, dia tidak pernah mengajak tetangga walau mobilnya kosong. Namun, ada seseorang yang berperangai sebaliknya. Orangnya baik, murah dan ramah, pergi ngaji ke rumah kiayi mengajak para tetangga naik mobilnya walaupun mobil itu cuma mobil omprengan semacam bak yang ditutup terpal. Sekali waktu orang sombong tersebut mengundang kiayi guru ngaji tadi. Namun para tetangga kabur, tidak ada yang mau hadir di rumahnya. Malah mereka kumpul ngaji di rumah seseorang. Orang yang berhati baik itu datang sengaja meminta agar para jamaah untuk datang ke orang sombong tadi. Apa kata 'dunia' bila ceramah kiayi tidak ada orang. Orang banyak (para jamaah) itupun mengiyakan dan pergi, cuma dengan catatan kalau karena tidak orang baik tadi mereka tidak akan datang.
"Harta kekayaan tidak dapat membeli harga diri orang'.
Oleh karena, jadi orang janganlah sombong dan belagu. Kesombongan hanya milik Allah semata.
Salam
Disclaimer: Kisah dan nama hanya ilustrasi. Mohon maaf jika ada kesamaan nama dan peristiwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H