[caption id="attachment_90478" align="alignnone" width="300" caption="Sheikh Muhammad Abduh dkk di Paris"][/caption] Muhammad Abduh. Aku mengenalnya sebagai penyanyi populer Saudi Arabia, keturunan Indonesia, konon dari Palembang, katanya. Penyanyi Abduh tersebut menjadi kesayangan Putra Mahkota Saudi Arabia, (kala itu) Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, sekarang Raja Abdullah, karena berhasil menyatukan visi Sang Putra Mahkota dalam gagasan pengembangan budaya Arab Saudi melalui proyek 'Janadiriyah', yang juga sukses membuat operet musikalisasi berjudul 'Abdul Aziz'. Putra Mahkota saat itu merupakan tokoh pengemban kebudayaan Arab Saudi dengan berbagai proyek yang bernuansa peradaban. Tapi bukan tokoh itu yang saya maksud. Yang saya maksud adalah Sheikh Muhammad Abduh, seorang reformer Mesir abad 20, yang gaungnya hingga tanah air Indonesia, terutama kawasan Sumatra Barat dengan gerakan Paderi. Sheikh Abduh merupakan pemikir kritis dan menjadi Grand Mufti Mesir pertama yang fatwa-fatwanya dibukukan oleh penerbit Dar el-Shorouq, Cairo, Mesir. Pandangannya yang revolusioner mendapat sambutan di berbagai dunia Islam yang saat itu dilanda kelesuan dan kebekuan pemikiran. Aktifitas intelektualnya bergairah berkat kedatangan tokoh reformer dari Persia yang terkenal dengan Al-Afghani, yaitu Jamaluddin Al-Afghani. (Persia dalam wacana Arab klasik merupakan kawasan sebelah sungai Eufrat dan Tigris. Bahasa Arabnya, maa wara'a al-nahr atau behind the river, sehigga kawasan di luar non-Arab masuk ke kawasan Persia, termasuk Afghanistan, Asia Tengah dsb). Kebangkitan pemikiran Abduh tertuang dalam kajian tafsir Al-Qur'an yang diajarkannya kepada murid-muridnya yang kemudian ditulis balik oleh murid setianya Sheikh Muhammar Rasyid Ridha dalam majalah Al-Manar. Bahkan majalah ini terbaca hingga Borneo (Indonesia) kala itu, buktinya dengan adanya sebuah pertanyaan yang dilontarkan oleh penanya dari pulau tersebut, yang jawabannya menjadi sebuah buku yang dijawab (ditulis) oleh kakeknya Walid Junbulat, tokoh Syiah Druz saat ini di Lebanon, yaitu Amir Shakib Arselan. Yang ingin saya kemukakan adalah pesan atau juga adagium Sheikh Abduh mengenai kondisi dan kenyataan dunia Islam seabad lampau. Adagium tersebut sangat terkenal yaitu, : Wajadtu al-Islam fi al-Gharb, laakin maa wajadtu al-Muslimin. Wa wajadtu al-Muslimin fi al-Sharq, laakin maa wajadtu al-Islam'. Artinya, 'AKU DAPATKAN ISLAM DI DUNIA BARAT, TAPI AKU TIDAK DAPATKAN UMAT ISLAM. DAN AKU DAPATKAN UMAT ISLAM DI TIMUR, TAPI AKU TAK DAPATKAN ISLAM'. Adagium ini menyatakan bahwa di dunia Arab dan dunia Muslim, Islam tidak ada. Yang ada adalah umat Islam. Di dunia Arab, yang ada Arab yang bahlul, juga termasuk di dunia Muslim, Indonesia juga tidak ketinggalan. Islam itu, jenggot panjang, berjubah dan bercadar, memakai celani cincering, dsb, yang oleh Sheikh Abduk dikatakan sebagai 'Arab', bukan Islam. Sedangkan di dunia Barat, beliau mendapatkan 'Islam' sesungguhnya, yaitu moralitas, keteraturan, penghargaan waktu, dsb. Pokoknya serba moralitas. Atau dengan kata lain, di dunia Barat, sudah menerapkan ajaran substansi Islam yaitu aspek moralitas, sedangkan di dunia Arab dan dunia Muslim lainnya baru sekedar menerapkan aspek formal Islam yaitu 'fikih'. Bagaimanakah kenyataan dunia Arab dan dunia Islam setelah 1 abad peringatan Sheikh Abduh. Apakah masih berjalan di tempat. Nampaknya, 'iya'.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H