Harian Kompas berturut-turut (14 dan 15 November 2014) menurunkan headline mengenai semakin membesarnya utang luar negeri Indonesia. Dibawah judul "Utang Luar Negeri Kian Membesar", "Jebakan Ekonomi Utang Indonesia" dan "Swasta Harus Hati-Hati Berutang". Membaca berita tersebut tentu saja kita menjadi 'trenyuh' dan prihatin atas hutang-hutang yang sudah melilit leher negara Indonesia. Boleh jadi, tujuh turunan kita hanya membayar bunga hutang saja.
Hutang luar negeri Indonesia pada akhir Agustus 2014 mencapai 290,37 miliar dollar AS yang jika dirupiahkan mencapai Rp 3.539,9 triliun. Dari jumlah itu, hutang luar negeri swasta sebanyak 156,162 miliar dollar AS (Rp 1.903,77 triliun). Hal itu berarti dalam kurun waktu 9 tahun, hutang swasta melonjak 3 kali lipat. Akhir tahun 2005 hanya 50,6 miliar dollar AS. Sebagai perbandingan, pendapatan negara dalam APBN-P sebesar Rp 1.635,4 triliun, sedangkan belanja negara (gaji PNS, infrastrukur, pembangunan dsb) Rp 1.876,9 triliun. Negara tekor.
Berdasarkan data terakhir Ditjen Pengelolaan Utang Kemenkeu, hutang luar negeri pemerintah pusat Rp 2.602 triliun, terdiri dari pinjaman Rp 684 triliun dan Surat Berharga Negara Rp 1.918 triliun. Sejak 3 tahun terakhir, untuk membayar cicilan bungan hutang yang jatuh tempo, pemerintah harus menarik utang baru. Artinya, pemerintah gali lobang tutup lobang (14/11/2014), bagaikan petani gurem yang kelilit ijon dan rentenir. Apakah Indonesia negara gurem bak petani tadi? Tidak. Indonesia negara besar dan kaya raya SDA namun miskin dan gurem karena salah kelola.
Strategi - kok strategi yah - gali lobang tutup lobang masih terus menjangkiti perekonomian Indonesia. Indikatornya, adalah untuk membayar cicilan bunga hutang, dengan mencari hutang baru. Lebih jauh Kompas juga mencatat bahwa selama 10 tahun Pemerintahan SBY hutang luar negeri Indonesia meningkat 2 kali lipat dari Rp 1.299 triliun. Lonjakan hutang ini juga dibarengi meningkatnya rasio pembayaran utang dan bunganya terhadap penerimaan ekspor (debt to service ratio), sempat mencapai 52 persen, jauh di atas level aman untuk negara berkembang sekitar 35 persen. Artinya, hampir separuh penerimaan ekspor habis untuk membayar hutang. Kewajiban utang juga menggerus cadangan devisa, menekan nilai tukar rupiah, serta membebani APBN. (14/11)
Tentu saja gambaran di atas sangat mengkhawatirkan terhadap ketahanan ekonomi nasional. Namun, yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah besarnya utang luar negeri swasta. Kekhawatiran tersebut apalagi jika swasta gagal membayar hutang luar negerinya. Apakah hutang luar negeri tinggi saat ini sudah pada posisi berbahaya dan bisa menuntun pada krisis finansial seperti 1997/1998? Kemungkinan tidak ditampik oleh Gubernur BI Agus Matowardoyo jika kita tidak hati-hati. BI sudah merespons dengan mengeluarkan imbauan untuk berhati-hati melakukan lindung nilai (hedging) dan mewajibkan korporasi (swasta) menyediakan dollar AS sebelum jatuh tempo utang, walau hanya imbauan dirasa tidak cukup.
Terlepas dari kekahwatiran tersebut diatas yang jelas adalah ketika kita beranak maka kita sudah membebankan mereka dengan hutang; bahkan boleh jadi ketika kita meninggal dunia, kita hanya bisa berwasiat kepada anak-anak, "Nak. Mohon maaf, ayah tidak bisa mewarisi warisan buat kamu. Ayah cuma bisa mewarisi utang kepadamu". Nauzubillah....amit amit jabang bayi, kata pomeo.
salam damai,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H