Konflik Israel-Palestina sudah memakan korban jutaan nyawa dari kedua belah pihak, terutama pihak Palestina. Sejak hijrahnya kaum Yahudi ke wilayah Palestina di masa protektorat Inggris terhadap wilayah tersebut akibat pembagian kue yang secara rahasia dibagi-bagikan berkat perjanjian Sikes-Picot sudah terjadi perang antar 'geng' antara Yahudi pendatang dengan warga setempat Palestina, perang kedua bangsa tersebut sudah dimulai. Kesaksian George Zeidan pada tahun 1900-an dalam reportasenya ke wilayah Palestina menjelaskan mengenai konflik kedua puak bersaudara tersebut.
Begitupun korban pasca berdirinya Israel pada thaun 1948 hingga sekarang, yang dalam wacana Arab-Palestina dikenal sebagai 'nakbah' (nestapa) yang oleh pihak Israel istilah tersebut ditolak, sudah ratusan ribu korban nyawa, jutaan rakyat Palestina menjadi diaspora, terlunta-lunta ke berbagai wilayah, belum lagi menghasilkan berkali-kali perang, dimulai dari perang gerilya tahun 1948, perang 1956, perang 6 hari 1967 dan perang Ramadhan 1973 yang menghabiskan beaya milyaran dollar dan jutaan manusia, kerusakan yang tidak sedikit dan ekonomi yang berantakan.
Pun pada dekade damai saat ini yang selalu dihantui rasa cemas bahkan dalam istilah mereka, 'dalam keadaan perang-tidk perang, tapi aroma suasana perang sangat terasa tersebut', sebenarnya rakyat kedua bangsa menginginkan perdamaian terjadi di wilayah konflik. Tapi tidak bagi para elit politikus. Perjuangan damaipun sudah digelar. Berbagai usulan damai sudah banyak dikemukakan, baik dari pihak mediator, AS, Rusia, bahkan negara Arab moderat, seperti Arab Saudi. Namun selalu kandas karena penolakan pihak Israel. Palestina sudah menerima berbagai usulan damai bahkan sudah melakukan 'tanazul', (menyerah) dengan berbagai kenyataan yang ada akibat perang, terutama 1967 yang menjadi batas wilayah teritorial mereka yang cuma sekeping di wilayah Jalur Gaza dan Tepi Barat. Perjuangan kemerdekaan dua negara konflik tersebut -khususnya kemerdekaan bagi rakyat Palestina masih panjang dan entah kapan berwujud.
Dalam menghadapi situasi tidak menentu dan untuk mempercepat perdamaian di kawasan tersebut, usulan pembentukan satu negara merdeka-berdaulat dan demokratis di wilayah tersebut yang terdiri dari rakyat Palestina dan Yahudi nampaknya menjadi sebuah tawaran solusi yang menjanjikan. Namun, usulan tersebut tidak mendapat gaungnya, baik dari pihak Israel maupun mediator, AS. Negara yang diusulkan namanya menjadi "Isratine" tersebut (terdiri dari israel dan Palestine) digagas oleh Pemimpin Libya Muammar Gaddafi merupakan bentuk ideal dari penyelesaian konflik berkepanjangan sepatutnya mendapat sambutan dari dunia internasional, terutama negara-negara Arab terdepan seperti Mesir, Jordania dan Syria, juga dari negara-negara Arab kolega AS, GCC dan israel serta Barat, khususnya AS.
Andaikan, Isratine menjadi kenyataan, dan Yahudi, Muslim, Kristen Palestina hidup berdampingan secara damai dalam sebuah negara demokrasi dan berdaulat, alangkah indahnya, bahkan bisa menjadi contoh sebuah negara ideal bagi negara-negara lain karena dihasilkan sebagai rekonsiliasi sebuah peperangan panjang sebuah kenyataan sejarah. Tapi kapankah??? Wallahu A'lam, cuma rakyat Israel dan bangsa palestina yang bisa menjawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H