Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Aku Ingin Hidup Serumah…"!!!

15 Maret 2010   13:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:24 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_94319" align="aligncenter" width="245" caption="Susan Abulhawa, yang Merindukan Kedamaian di Negeri Leluhurnya Palestina."][/caption]

Konflik Israel-Palestina yang berkepanjangan membuat jenuh dan keadaan tak menentu rakyat kedua pihak, tak terkecuali rakyat Israel yang dibeking oleh Barat, melampiaskan ambisi para politikusnya. Susan Abulhawa seorang pengungsi Palestina akibat kekalahan perang 6 hari pada 1967, dimana Mesir saat itu dipimpin oleh Gamal Abdul Nasser dan Israel dipimpin oleh seorang wanita PM Golda Meir, menulis buku yang merindukan hal tersebut, keinginan damai bahkan hidup serumah antara kedua puak kuno bersaudara tiri itu yang senantiasa bertikai tidak henti. Dalam bukunya ‘Scar of David, Scar of Palestine’, Susan Abulhawa menceritakan kehidupan yang tenang menjadi kucar-kacir, akar sebuah keluarga yang hidup damai di sebuah kota kecil Jenin, Palestina, khususnya desa Ein Hod. Sebuah desa yang makmur, damai dan tenteram sebelum datang agresi Israel ke kawasan tersebut.

Keluarga besar Yehya Abulheja dan istrinya Basima dengan anaknya Hasan berlomba memetik buah zaitun, pohon yang menjadi primadona produksi Palestina. Sebuah pohon ‘barokah’ yang mana minyaknya dapat diminum sebagai penawar kolestrol begitupun buah yang rasanya asem dan kecut. Kekacauan terjadi ketika agresi Israel pada tahun 1948 berbarengan dengan kemerdekaan negara Yahudi tersebut. Seorang tentara Israel yang tidak dikaruniai anak, merampas bocah milik keluarga Yahya, tepatnya cucunya yang bernama Ismail, putra dari Hasan dan Dalia. Ismail kemudian besar dalam keluarga tentara Yahudi tersebut, Moshe dan istrinya Jolanta. Ismail diganti namanya menjadi ‘David’, yang kemudian menjadi tentara Israel. Tapi bocah kecil tersebut dapat dicirikan karena luka (scar) yang ada dipelipisnya.

Singkatnya, akhirnya David mengetahui bahwa kalau sebenarnya dia bukan orang Yahudi. Tapi bocah Palestina yang dirampas oleh ayah asuhnya dari dekapan ibunya yang menangis meratapi kepergian anak kesayangan tersebut. Pada perang 1967 David yang sudah menjadi tentara bertemu dengan Yousef yang beristrikan Fatima, yang tidak lain adalah saudara kandungnya. Pada tahun 1969 Dalia, ibu ‘David’ meninggal dunia. Anak mereka yang lain, Amal, kelahiran 1955, yang menikah dengan relawan dokter Majid, sahabat Yousef. Pada tahun 2001 David bertemu dengan Amal dan pada tahun 2002 Amal bertemu dengan Dr. Ari Perlstein. Amal menceritakan keadaan yang sebenarnya terjadi.

Sebuah kisah dari sebuah ‘akar’ keluarga yang perih. Dari sebuah ketenangan desa, menjadi sebuah nestapa, setelah anak mereka diculik dan diadopsi oleh tentara Israel. Akhirnya, putri Amal, yaitu Sara, yang diselamatkannya dari desingan selongsong peluru hidup di AS serumah bersama kawan Yahudi dan Palestina. Sebenarnya mereka ingin hidup berdampingan, bahkan serumah, tanpa perang, tanpa kekerasan, tanpa senjata, dan tanpa ‘beban’ kekejaman. Begitulah sebenarnya wajah ‘kehendak’ rakyat kedua saudara tiri tersebut. Karena sudah jenuh dengan perang…perang…perang …yang tidak ada henti-hentinya.

Sebuah kisah menarik dan perlu dibaca…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun