Mohon tunggu...
Bang Nasr
Bang Nasr Mohon Tunggu... Dosen - Nasruddin Latief

Bangnasr. Masih belajar pada kehidupan, dan memungut hikmah yang berserakan. Mantan TKI. Ikut kompasiana ingin 'silaturahim' dengan sesama.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Membaca Haru Biru Derita Anak Jalanan Yang Bisa Pergi Haji: Kisah BMI Hong Kong

25 Oktober 2012   13:52 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:24 3225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13511731341462342020

Dalam suatu kesempatan di HK, tanpa diduga dan dikira saya memegang sebuah buku kecil dan tipis. Judulnya menarik perhatian saya. Dengan tampilan gambar sampul sebuah bukit (Jabal) Rahmah di Padang Arafah pada musim haji dengan untaian sebuah tasbih dan sebuah judul menyolok, “Dari Jalanan ke Tanah Haram”. Buku itu ternyata sebuah kisah panjang perjalanan hidup anak desa yang terbuang dan menjadi anak jalanan di Jakarta hingga menyasar ke Singapore, Batam, Kapal Pasiar Mewah dan akhirnya ke Hongkong. Dan dari sana berhasil melaksanakan ibadah haji beserta rombongan dari kota beton tersebut. Buku tersebut diterbitkan oleh DD Hongkong dan diedit oleh Kompasianer Pipiet Senja.

Disampul ditulis nama penulisnya Siti Zahra. Namun, nama aslinya adalah Istqomah. Setelah haji diberi tambahan nama Zarrah oleh pemandu haji sehingga menjadi Zarrah Istiqomah. Wanita kelahiran tahun 1975 asal Blora Jawa Tengah dan saat ini masih manjadi BMI di Hongkong.

Membaca buku tersebut dari  halama pertama hingga halaman terakhir berisi kisah pilu dan sedih yang bisa mengurai air mata bagi pembacanya. Betapa tidak?. Seorang anak manusia yang kehadirannya tidak diinginkan oleh keluarga. Dia dilahirkan sebagai anak perempuan dari keluarga besar. Anak ke-6 dari 7 bersudara. Kehadirannya bukan saja tidak diingnkan, namun juga dianggap membawa sial oleh ibu kandungnya sendiri. Hingga akhirnya dia dirawat oleh Budhenya yang juga sangat miskin. Malangnya lagi, ayahnya adalah orang yang takut istri. Disini sudah cukuplah penderitaan si anak. Apalagi masa depannya.

Berkat kemiskinan, namun si sanak mempunyai jiwa pemberontak. Pada usia 7 tahun sudah berani nekad merantau ke Jakarta tanpa uang sepeserpun dan tanpa ada yang dikenal, walau kakaknya sudah berada di Jakarta. Dengan modal nekad, dari terminal Blora ke terminal Pulo Gadung. Tentu saja kemudian dia menjadi anak jalanan atau anak kolong di Jakarta yang akrab dengan sampah, mengais makanan dari sisa-sisa sampah yang dibuang, tidur di kolong jembatan, dan segudang penderitaan lainnya. (Hanya nasib saja yang membawanya bisa selamat dari ancaman maut. Tuhan masih saying padanya).

Bekerja bagi anak kecil di Jakarta tentulah tidak mudah didapat. Akhirnya, dengan modal nekat menjadi pembantu kerket bus Mayasari jurusan Kampung Rambutan-Grogol dengan harapan dapat sesuap nasi dari sang sopir. Adakalanya memang sang sopir baik hati sehingga dia dibayarin sepiring nasi dengan lauk tempe, namun tidak jarang pula nasi bekas didapatnya dari sopir. Bahkan tidak sedikit sopir yang jahat, memberinya sisa nasi dengan terlebih dahulu diludahi dan kemudian diberikannya untuk dimakan, dan tabiat aneh lainnya dari orang-orang itu. Sungguh menjijikkan tabiat bermacam orang.

Nasibnya mulai tertolong, ketika dia memulai menjadi tukang lap mobil di sebuah pasar. Dia mendapati ada seorang ibu yang setiap hari belanja cukup banyak. Diapun rajin membantu ibu itu dengan membawakan barang belanjaannya, sehingga si ibu pun kemudian iba kepadanya dan menawarinya tinggal bersamanya. Ternyata ibu itu adalah seorang wanita China asal Hongkong yang membuka les piano di Jakarta. Pembantunya ada 6 orang dan mobilnya ada 10 serta 3 orang sopir. Atas kebaikan ibu tadi, yang disebutnya Ibu Vera, dia bisa menikmati makan layak, bahkan pertama kali mandi dengan sampho dan sabun di kamar mandi. Disitu dia berkesempatan belajar membaca-tulis dan agama pada seorang sopir yang rajin ibadah. Namun, akhirnya Ibu Verapun habis kontraknya dan akan kembali ke HK. Namun, sebelum pergi, si ibu mengkursuskannya menjadi perawat. Nasib kemudian mengubahnya menjadi perawat atau asisten perawat.

Dari situ kemudian, datang seorang Singapore kaya raya yang baru bersalin dan meminta dia untuk merawat anaknya disana. (Saat itu dia bekerja di bagian perawat). Maka berangkatlah dia ke Singapore dan bekerja disana hingga selama 8 tahun. Dalam masa ini kondisi keuangannya sangat baik, namun dia lupa diri hingga hidup berfoya-foya karena perasaan dendam pada keluarganya dan juga kakak-kakanya yang tidak pernah menghiraukannya. Hari-harinya diisi dengan banyak berjudi, minum minuman keras dan lain sebagainya.

Akhirnya, atas bantuan majikannya dia dikenalkan dengan orang-orang Singapore kaya raya yang berbisnis MLM di Jakarta. Jadilah dia tinggal di apartmen yang dibayar oleh majikannya (Saya merasakan bahwa majikan Singaporenya ini sangat baik, walaupun dia sudah tidak lagi bekerja padanya namun tetap membantunya). Kemudian dia diajak oleh seorang Dato dari Malaysia yang juga berbisbis  MLM daiajak ke KL. Namun, tertipu karena Dato itu seorang ‘setengah waras’ yang banyak menyiksa para pembantunya, hingga akhirnya dia kabur dari situ.

Atas jasa baik mantan majikannya yang orang Singapore, diapun ditawari bekerja di sebuah kapal pesiar milik kawan majikannya. Namun, kemudian dia ingin mandiri tinggal di Batam dan berwiraswasta. Tapi sayang karena tidak memiliki KTP Batam, majikannya membelikan dia rumah BTN atas nama orang lain yang dianggap baik. Orang itu keturunan Sulawesi dan dipanggil Daeng. Jadilah dia menjadi seorang yang berjualan warung pecel lele yang pelanggannya adalah pegawai hotel yang pernah dia tinggal di Batam dan juga kawan-kawan di kapal pesiar. Namun, akhirnya kebejatan moral Daeng terkuak. Dia seorang bejat moral, pemabuk, penjudi, bahkan nekat mau menzinahinya.

Akhrinya, diapun nekad kembali ke Jakarta tanpa ada uang sepeserpun. Dengan berbekal uang kasihan seorang TKI yang baru pulang dari Malaysia dia mendapat ongkos kelas ekonomi kapal laut ke Jakarta. Singkatnya di Jakarta dia menjadi gembel lagi dan mulai akrab dengan kekerasan dan premanisme. Namun, nasib baiknya ketika dia memporakporandakan tukang nasi goring di depan RSPAD Gatot Soebroto, kawasan Senen, kawan-kawannya lari pontang panting, namun dia ada yang mengenalinya. Rupanya, orang itu yang dulu tukang antar obat ketikadia masih bekerja di rumah sakit perawat. Orang tersebut saat itu sudah menjadi pegawai di sebuah perusahaan Pengarah Tenga Kerja (PJTKI). Maka, diapun akhirnya bergabung dengan menjadi tutor bahasa Inggris (berkat dikursuskan oleh majikannya ketika bekerja di Singapore). Lagi-lagi nasib baik berpihak padanya. Ketika itu datang seorang agent PJTKI dari Hongkong mencari BMI dan bertemu. Ketika dia membawakan air minum diatanya yang dijawabnya dengan bahasa Inggrs. Maka, jadilah dia yang dipilih menjadi BMI oleh agen tadi. Dan hingga kini bekerja padanya.

Singkatnya, setelah beberapa tahun di Hongkong dia menemukan hidayah berkat ajakan kawan-kawannya ikut majlis pengajian di Islamic Union Hongkong dengan masjid Wanchai-nya. Disitulah hidayah berpihak kepadanya. Oleh banyak pembimbing dan ustaz yang datang memberikan ilmu kepada para BMI, dia mendapatkan jalan kebenaran dan kembali ke pangkuan orang tuanya yang selama ini seolah-olah hilang dari kehidupannya dan  tidak pernah disapanya walaupun dia pernah manjadi orang kaya raya hanya kerana ingin melampiaskan dendam semata kepada mereka. Berkat, bimbingan tersebut, dia akhirnya kembali diterima sebagai anak, dan mencita-citakan untuk menunaikan ibadah haji untuk bertaubat ‘taubatan nasuha’ atas semua dosa-dosa yang pernah dibuatnya. Akhirnya, cita-cita dan doa tersebut terkabul. Alhamdulillah.

Kisah perjalanan hidup Zarrah Istiqomah ini layak dijadikan sebuah buku atau novel yang lebih besar lagi, karena dibuku ini yang cuma 86 halaman dianggap terlalu tipis dan setiap kisah ditulis hanya 2 halaman. Bila ditulis ulang menjadi sebuah novel yang panjang lebar bisa mengharu birukan perjalanan hidupnya – karena banyak sekali hikmah dibaliknya – boleh jadi akan menjadi sebuah karya novel hidup yang best seller nasional, bahkan boleh jadi layak untuk difilmkan. Semoga saja penulisnya berkenan menulis ulang dan Kompasianer Pipiet Senja bisa menjadi ‘kompornya’ untuk itu.

Selamat membaca dan bercucuran air mata.

Salam damai,

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun