Waduk Ria-Rio yang terletak di kawasan Pedongkelan Pulo Mas Jakarta Timur adalah salah satu waduk di Jakarta yang direvitaliasi oleh Gubernur Jokowi saat memimpin Jakarta. Tentu saja kita gembira atas usaha tersebut, walau saat ini usaha tersebut mangkrak. Artinya mendekati posisi semula, eceng gondok sudah mulai tumbuh, situasi dan kondisi fasilitas penunjang banyak yang tidak terurus dan lain sebagainya. Namun bukan itu yang ingin saya tulis berdasarkan keluhan warga yang tinggal di kawasan tersebut.
Ketika Gubernur Jokowi baru memimpin DKI, warga mendapat berita dan kabar gembira yaitu NJOP tanah di kawasan tersebut turun. Kabar ini tentu disambut sukacita warga. Seolah-olah mereka berterima kasih kepada Gubernur yang pro-rakyat. Namun, dibalik adanya penurunan NJOP tersebut ada udang dibalik batu yaitu adanya rencana penggusuran tanah warga oleh Pemda di kawasan yang akan dijadikan pusat rekreasi air dengan melibatkan swasta untuk pembangunannya. Tentu saja sekarang ini hal tersebut yang menjadi biang pangkalnya.
Jika penghuni liar yang menempati lahan sekitar waduk bukan miliknya sudah enak-enak dipindahkan ke rumah susun (rusun) di Penggilingan Cakung Jakarta Timur, tapi tidak demikian bagi penduduk yang mempunyai tanah di sekitar waduk Ria-Rio. Saat ini mereka masih terus berjuang untuk mendapatkan ganti untung sewajarnya atas harga yang patut terhadap tanah mereka. Karena di dalam NJOP yang sudah diturunkan tertulis cuma Rp 1,800.000 dan Pemda mau membebaskan dengan harga separuhnya yaitu cuma Rp 900.000 per-meter. Fakta dilapangan memang mayoritas warga disitu adalah warga miskin yang mempunyai rumah dan tanah cuma beberapa meter saja. Tidak ada yang ratusan meter. Jika Pemda tega membayar segitu mau pindah kemana. Adakah harga tanah di Jakarta yang segitu? begitu kira-kira gumam mereka. Sudah beberapa bulan hal ini tidak mendapat titik temu. Begitulah kira-kira derita warga sekitar waduk Ria-Rio yang malang dibawah kepemimpinan Gubernur pro-rakyat.
Memang betul kebanyakana warga mempunyai tanah tidak mempunyai sertifikat. Kebanyakan mereka adalah penduduk asli yang sudah lebih tujuh turunan menempati tanah tersebut. Tapi sejarah tanah itu ada yaitu yang diitilahkan dalam bahasa Belanda dengan verponding eigendom. Rata-rata tanah mereka sekarang masih berupa girik dan tidak bersertifikat karena tidak dijual kepada pihak lain tapi ditempati oleh anak keturunan mereka, walau ada juga yang sudah dijual.
Hingga hari-hari ini mereka mau mengadukan kepada Plt Gubernur Basuki T. Purnama yang populer disapa Ahok. Namun perjuangan mereka tersebut masih panjang dan entah kapan persoalan tersebut akan selesai. Yang jelas, derita mereka masih berkepanjangan. Adakah yang mendengar suara mereka, termasuk Jokowi (saat ini Presiden) karena kesusahan warga saat ini akibat kerja-kerja-kerja Gubernur Jokowi.
Salam damai,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H