Bagi yang mempunyai anak yang sedang belaajr di tingkat SMA jika memperhatikan harian tugas-tugas sekolah anaknya pasti miris. Kenapa? Karena hampir setiap hari termasuk hari libur (Sabtu-Minggu) tidak pernah luput dari tugas dan PR. Itulah yang saya perhatikan pada anak saya yang saat ini sedang duduk di kelas XI sebuah SMAN di Jakarta. Sekolah tersebut memang sekolah ranking dan favorit.
Karena kakaknya dulu juga pernah sekolah di sekolah yang sama ( saat ini sudah kuliah) saya bandingkan tidak seperti itu untuk tugas-tugas PR-nya, padahal waktu itu sekolah dia masih berstatus Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI). Kalau saya tanyakan kenapa kok PR dan tugas sekolah kamu banyak sekali? Dia jawab ya itulah Kurikulum 2013. Jadi, kira-kira biang kerok dan sebabnya adalah beban yang diemban oleh kurikulum 2013.
Karena beban tugas sekolah dan PR K-2013 itu begitu banyak dan memberatkan - saya selalu perhatikan dia hampir setiap malam masih mengerjakan tugas hingga jam 11 malam - bak pekerja rodi zaman penjajahan dulu. Apakah sekolah menjadi penjajah atau tepatnya K-2013 bagaikan penjajah? Wallahu A'lam. Tapi apakah memberatkan murid. Jawabannya, Iya. Bagaimana dengan gurunya? Boleh jadi gurunya menjadi lebih ringan karena beban tersebut dikerjakan oleh murid.
Catatan dan kegundahan ini hanya catatan yang absurd di tengah berbagai teori para Profesor yang membuat K-13 ini. Cita-cita mereka boleh jadi baik dan mulia, namun mereka tidak menyadari bahwa yang sedang mereka targetkan adalah anak didik usia belia dan muda serta belasan tahun. Bukan seperti mereka para Profesor yang sudah matang alam fikirannya. Elegannya adalah sisi ideal boleh saja setinggi langit tapi sisi faktualnya buat apa jika susah atau menyusahkan orang lain diterapkan. Bagusnya adalah antara idealiti dengan realiti menyatu dan naymbung. Ukur sesuai dengan usia rata-rata para murid.
Namun, malangnya Pak Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah dan Kebudayaan masih belum mengeluarkan pendapatnya soal K-1013 ini. Apakah dilanjutkan atau distop penggunaannya secara nasional. Barangkali masih bingung beliau? Semoga ada masukan dari berbaagi pihak, baik staff beliau maupun stakeholder, para pendidik maupun siswa sendiri. Selama ini para siswa - via perwakilannya - tidak pernah dilibatkan pada hal-hal yang berkenaan dengan mereka seperti penerapan kurikulum. Wallahu A'lam
salam damai,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H