[caption id="attachment_110517" align="aligncenter" width="300" caption="Masjid Al-Hamra (Merah) di Andalusia. (http://www.ucalgary.ca/applied_history/tutor/islam/fractured/spainMaghrib.html)"][/caption] Saya pernah coba-coba tanya siswa-siswi SMP/SMA bahkan mahasiswa bagaimana jawaban mereka tentang angka yang saya tulis di judul postingan diatas. Jawaban mereka beragam dan bermacam-macam. Ada yang bilang itu angka Belanda. Angka Eropa, ada lagi yang bilang itu angka Romawi, bahkan ada yang mengatakan itu angka Latin. Jawaban semuanya adalah salah...???? Lho... Setahu saya di Eropa pada abad pertengahan ketika Islam belum datang, Eropa masih berada dalam masa 'darkness' (jahiliyah), hingga munculnya abad aufklarung (pencerahan). Tapi bagi yang mau menelaah sejarah ilmu pengetahuan dan filsafat yang ditulis oleh sarjana Barat selalu tidak 'fair' dan 'bias' karena selalu meninggalkan peranan ilmu pengetahuan yang diemban oleh Islam. Ada satu masa sekitar 8 abad yang selalu ditinggalkan dan dilompatin, tiba-tiba ke masa 'pencerahan' dari masa 'Yunani'. Misalnya, Prof. Dr. Selamet Iman Santoso, seorang guru besar UI yang terkenal dengan 'white man' karena selalu berpakaian serba putih pernah menulis sejarah filsafat. Kesalahan yang beliau tulis, terjadi lompatan dari masa Yunani tersebut, tiba-tiba lompat ke abad Pencerahan di Eropa, yang tidak menyinggung peranan Islam dalam kurun masa kurang lebih 8 abad. Karuan saja buku tersebut mendapat sanggahan, terutama dari Prof. Saleh Iskandar (S.I.) Poeradisastra, seorang guru besar di Moskow, yang menyinggung kenapa terjadi kekosongan peranan yang tidak ditulis dalam buku tersebut, yang sebenarnya disitulah peranan ilmu pengetahuan Islam. Tapi, memang Prof. Selamet Iman Santoso seorang ilmuwan yang rendah hati. Beliau mengakui kelemahan dan kesalahan tersebut, dan mengatakan bahwa sumber referensi yang beliau miliki (dari Eropa/Barat) seperti itu. Pengakuan Prof. Selamet menjadi bukti bahwa sejarawan Eropa dan non-Muslim bias dan tidak 'fair'. Mungkin fair dalam olah raga sepakbola saja...fair play....hahahaaaa. Saya hanya mengingatkan bahwa yang saya tulis di judul itu adalah angka Islam atau Arab. Lho??? Bagaimana dengan angka yang selama ini diajarkan di pesantren. Itu adalah angka yang berasal dari India (dalam pola penulisannya). Jadi, penggunaan angka 'India' itu sampai sekarang masih dipakai oleh negara-negara Arab yang berada di kawasan Benua Asia, dari Arab Saudi, Syria, Jordania, negara GCC dsb. Bahkan di Indonesia cetakan Al-Qur'annya yang diterbitkan oleh penerbiat Ma'arif ditulis dengan khat/kaligarfi India/Pakistan. Sedangkan negara-negara Arab Meghribi, mulai dari Libya, Tunisia, Aljazair, Maroko dan Mauritania, menggunakan angka 'Islam/Arab' sebagaimana yang ditulis oleh Eropa dan dunia internasional lainnya. Mesir yang berada di tengah-tengah, dua-duanya ditulis walau lebih banyak mengacu pada angka 'India' tadi. Hingga sekarang di buku-buku yang dicetak di negara Meghribi atau Arab Meghrib Union (AMU) masih menjadi saksi. Tulisannya berbahasa Arab tapi nomor halamannya dengan angka 'Islam/Arab'. Selain itu juga menjadi bukti bahwa urutan tulisan angka tersebut juga dimulai dari sebelah kiri (seperti tulisan bahasa Inggris dan Eropa lainnya), tidak mengikuti tulisan huruf Arab yang dimulai dari sebelah kanan. Lalu bagaimana, angka 'Islam/Arab' tersebut lari atau dicaplok oleh Eropa?? Pada saat islam mengembangkan misinya di Spanyol (Andalusia) selama 7 abad, pada saat itulah Eropa terpengaruh oleh ilmu pengetahuan Islam/Arab, diantaranya soal angka. Sedangkan pengaruhnya banyak sekali, tapi bukan tema itu tulisan ini. Kenapa?? Karena angka itulah, setelah ditemukan angka '0' menjadi revolusi sains dan ilmu pengetahuan. Bahkan penemu angka tersebut, Al-Khawarizm, di Barat ditulis menjadi 'Algoritma', karena angka-angka Islam/Arab tersebut dapat dibagi, dikalikan, apalagi ditambah dan dikurangi. Sedangkan angka Latin yang dipergunakan Eropa pada saat itu, hanya angka lambang dan simbol saja, yang tidak tidak bisa dijadikan accounting menambah, apalagi mengurangi, apalagi mengalikan atau membagi. Dan sekarang hanya dijadikan sebagai simbol tok, karena angka mati (masuk museum), seperti kita menulis karangan. I, II, III, IV (IIII), V, VI, VII, VIII, IX, X, XI, dst. Angka Latin tersebut bukan angka sains dan ilmu pengetahuan. Selain itu, Eropa juga pada saat itu mengidap penyakit inferior sama seperti yang dihadapi umat Islam saat ini terhadap Eropa. Kalau umat Islam sekarang ini, dikit-dikit bilang 'dipengaruhi Eropa', Eropapun dulu selalu bilang 'dipengaruhi Islam' atau nama filosofnya Ibn Rusyd, 'dipengaruhi Ibn Rusyd'. Nah, dengan penemuan angka nol tersebut oleh saintis Muslim, maka terjadilah revolsusi sains yang hingga sekarang belum ada penemuan terbesar dalam sejarah sains sepanjang sejarah, yaitu adanya revolusi 'roda' sebagai bentuk angka nol tadi. Dimulai dari roda sepeda, roda motor, roda mobil, dan roda pesawat, semuanya berkat angka 'nol'. Coba..bayangkan gak ada angka nol itu dan dan gak roda itu....jalan kaki dari Jakarta ke Bogor....encok ente....apalagi ke benua dan engara lain.....capek dech.. Makanya sebagai penghormatan atas penemuan saintis Islam tersebut, di perpusatakaan Universitas Luven di Belgia dipajang sejarah sains dunia dan dimulai dari sebuah masjid di Samarkand, tempat kelahiran Al-Khawarizmi, sang penemu angka tadi. Masih mau gak ngaku nich.....I, II, III, klau ditambah gimana nulisnya yah... salam, saloom,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H