Kalimat judul itulah yang menjadi salah satu topik acara infotainment yang disiarkan sebuah stasiun televisi pada minggu siang 29 Mei 2011. Semua hal yang baik-baik dari Ariel di dalam penjara belakangan ini dipuji habis-habisan.. Luar biasa. Masih belum hapus dari ingatan ketika Airel baru tersandung kasusnya dulu stasiun televisi yang sama dalam acara sama menelanjangi Ariel tak ubahnya seperti manusia yang tak layak diberi ruang hidup.
Bukan sosok Ariel dan motif media yang memberitakanaktivitasnya di penjara yang akan diulas di sini. Bukan pula hendak meragukan niat dan kesungguhan Ariel akan “pertobatannya”. Tetapi soal pemahaman kita terhadap kriteria religious tersebut, itulah yang menarik (menurut saya).
Ariel dikatakan/diberitakan religious berdasarkan perubahan kebiasaannya yang kini rajin sholat, sering mengikuti pengajian dan sejenisnya (di penjara, tentu saja). Jika itu dasarnya untuk menilai religiusitas seseorang maka sesungguhnya kita sudah terjebak ke dalam “kenaifan moral”.
Religiusitas dimaknai sebatas tingkatan asesoris (jubah dan sorban, kumis dan janggut) serta aktivitas ritual (sholat, kebatktian dsb) belaka.
Padahal, fakta menunjukkan betapa banyak contoh orang-orang yang mengaku/dianggap/ diberitakan religious bak malaikat karena kadar ibadah ritualnya sangat tinggi disertai cara berpakaian yang benar-benar agamis, ternyata berperilaku tak ubahnya iblis. Suka “malak “, senang menghakimi dengan kekerasan, doyan korupsi, kadang doyan pornografi, serta tak peka terhadap penderitaan sesama.
Hmmm… Selamat buat Ariel.
Semoga perubahan religiusitas pada diri mu benar-benar karena kesadaran spiritual yang tulus, tanpa pamrih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H