Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Bapak

27 Oktober 2024   18:56 Diperbarui: 27 Oktober 2024   19:26 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sehelai kemeja Bapak telah menjadi kangen yang menyiksa.

Apakah kita masih akan berjumpa, pada suatu ketika yang jauh lebih berharga
ketimbang yang dahulu kita lewati?
Apakah nanti aku akan memelukmu, kubiarkan tangis yang tertahan
oleh berlapis-lapis urusan -- yang lalu mengerak oleh waktu -- pecah di dadamu
menjadi air mata dalam bentuknya yang paling murni?

Sehelai kemeja Bapak telah menguap menjadi angin yang dingin dan kering.
Ia mendesir dalam kesendirian yang asing:
tak ada yang lebih sunyi ketimbang sore yang tak disadari.

Akan kubangun istana di surga buat Bapak.
Istana abadi dari bahan baku yang fana di sini.

Tetapi, hidup telah menjadi serangkaian tetapi
(yang tak perlu terlalu diberatkan, sebab sungguh dapat dimaklumi)
Dunia adalah hamparan bagi bermacam evolusi
Setiap alasan yang kasar dan telanjang
akan terus diasah oleh waktu sehingga
tercapai kehalusan yang (pura-pura) dikagumi.

Sehelai kemeja Bapak telah menjelma bilah bambu.
Aku tak lagi kuasa untuk seolah-olah tak terluka.  

2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun