Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Sejak Kapan Bakmi Tak Selalu Mengandung Babi?

15 Juli 2024   05:52 Diperbarui: 15 Juli 2024   06:52 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Perubahan atau pergeseran makna suatu kata dalam suatu bahasa adalah hal yang lumrah. Demikianlah yang terjadi pada kata bakmi. Pada kamus bahasa Indonesia resmi terbaru kata bakmi ditempatkan sebagai istilah yang kurang disarankan dan definisinya dirujuk kepada mi, serta tidak dikaitkan dengan daging babi. Padahal, awal mulanya tidaklah demikian.

Migrasi besar-besaran orang Cina ke Hindia Belanda dan percampuran ras ini dengan penduduk pribumi, mengakibatkan banyak masakan Cina diadaptasi menjadi kuliner Indonesia, termasuk bakmi. Pada pustaka-pustaka lama kata bakmi juga ditulis dengan berbagai varian istilah seperti bami, bamie, bahmi, bahmie, dan bahmieh yang berbeda arti dengan mi atau mie. Buku resep dan kamus yang terbit dari pertengahan abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20 mengungkapkan dengan jelas, perbedaan antara bakmi dengan mi. Secara singkat, dapat dikatakan bahwa bakmi adalah mi yang sudah dimasak bersama bahan-bahan lain. Jadi, mi adalah bahan makanan, sedangkan bakmi adalah makanan. Kurang lebih sama dengan beras dan nasi.

Terkait dengan bahan yang turut dimasak bersama mi sehingga menjadi bakmi, sebuah buku resep masakan Nusantara tahun 1930 memuat uraian sebagai berikut.  Mi adalah spageti Cina dan bah adalah kata dalam bahasa Cina untuk babi. Jadi, bahmi berarti spageti atau mi dengan daging babi. Hal senada juga terlihat pada kamus bahasa Melayu-bahasa Belanda tahun 1916,  bakmi adalah mi yang dicampur dengan babi, udang, dan sayuran. Pada kamus di tahun 1928 bakmi dideskripsikan sebagai mi dengan daging babi, daging babi asap, udang, dan lain-lain.

Salah satu buku resep masakan Nusantara yang paling tua dan ditulis dalam bahasa Melayu adalah Kokki Bitja yang terbit di tahun 1864. Pada buku ini terdapat empat resep bakmi, baik rebus maupun goreng, yang semuanya menyertakan daging babi. Resep bakmi dengan menyertakan babi ini juga muncul pada buku-buku resep masakan yang terbit di tahun 1900, 1928, 1930, 1936, 1938, 1942, dan 1948.

Ada satu pengecualian yang menarik. Sebuah kamus di tahun 1931 memuat deskripsi bakmi, yaitu hidangan Cina yang terbuat dari bihun, sayuran, dan daging. Daging babi tidak secara spesifik disebutkan dalam deskripsi ini. Tidak berhasil ditemukan sumber lain yang sejalan dengan kamus ini hingga tahun 1949. Pada tahun tersebut sebuah perusahaan perdagangan Conimex Belanda mengeluarkan buku pengetahuan tentang makanan Indonesia yang memuat ulasan mendalam tentang bakmi, termasuk perbedaannya dengan mi dan cara pembuatannya. Di dalam buku ini dipaparkan bahwa bakmi dibuat dengan merendam mi dalam air mendidih selama beberapa waktu. Air kemudian ditiriskan, lalu pada mi ini ditambahkan potongan daging babi atau ayam rebus, bumbu-bumbu, udang kering, dan sayuran. Uraian pada buku ini menunjukkan bahwa bakmi tak mesti dibuat dengan menyertakan daging babi.

Penelusuran lebih lanjut terhadap buku-buku resep menunjukkan bahwa hingga tahun 70-an resep bakmi hampir selalu menyertakan daging babi. Meskipun demikian, deskripsi bakmi sebagai masakan yang tidak selalu mengandung babi dapat dikatakan sudah muncul sejak tahun 30-an atau 40-an. Selanjutnya, pada tahun 1954 terbit kamus bahasa Indonesia susunan W. J. S. Poerwadarminta yang menghilangkan kaitan bakmi dengan daging babi. Pada kamus ini terdapat entri mi dan bami. Entri mi kemudian dirujuk ke entri bami dengan alternatif pengucapan bakmi yang diartikan sebagai makanan Tionghoa, rupanya seperti makaroni. Sejak itu definisi resmi bakmi dalam bahasa Indonesia telah terlepas dari unsur babi. Pada kamus bahasa Indonesia terbaru, mi diuraikan sebagai bahan makanan dari tepung terigu, bentuknya seperti tali, biasanya dimasak dengan cara digoreng atau direbus, diberi daging, udang, sayuran, bumbu, dan sebagainya. Sementara bakmi sebagai nama makanan cenderung untuk ditinggalkan dan diganti dengan frasa mi yang dimasak. Maka, istilah yang baku adalah mi goreng bukan bakmi goreng, mi ayam bukan bakmi ayam, mi Aceh bukan bakmi Aceh, dan mi Jawa bukan bakmi Jawa. Hal ini menjadi satu lagi tantangan di dalam pembiasaan penggunaan bahasa baku. Kata bakmi masih sangat sering digunakan, tak hanya di dalam percakapan sehari-hari, melainkan juga di dalam ruang-ruang komunikasi yang lebih serius, termasuk di dalam publikasi-publikasi ilmiah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun