Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Surat Pendek Via Kepada Lelakinya

7 Februari 2024   18:27 Diperbarui: 7 Februari 2024   18:29 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Berkali-kali Via bimbang untuk menulis surat buat Zen, suaminya. Akhirnya, ia putuskan untuk menulis surat itu. Diambilnya kertas dan bolpen. Sebentar saja, kata demi kata dengan lancar ia tuliskan pada kertas. Ya, surat itu sudah lama tertulis dalam kepalanya. Ia hanya perlu memindahkannya ke atas kertas.

"Tak lagi ada yang kuharap. Tak cinta, tak senyuman, tak pula perhatian. Hari-hari masih akan seperti biasa. Akan kulakukan apa yang biasa kulakukan untukmu. Sesekali aku masih akan bercerita tentang apa saja. Yang berbeda hanya satu. Tak akan lagi aku kecewa akan dingin sikapmu.Tak lagi aku gusar akan ketakpedulianmu. 

Tak pernah kusangka perkawinan kita akan tiba pada titik yang getir dan pahit begini. Dulu, kita adalah sebuah kisah romansa yang membuat iri banyak orang. Seorang perempuan jelita menjalin kasih dengan seorang lelaki gagah dan tampan. Meski berkali-kali badai menghantam, kita akhirnya bersanding di pelaminan. Hari-hari kita di rumah ini tak pernah bergantung kepada cuaca di luar sana. Selalu musim bunga di sini, meski di luar hujan menggeliat menjelma badai. 

Aku tak tahu mulai kapan engkau berubah. Mungkinkah sejak datang kepada kita satu kabar yang tak dipernah disukai oleh sepasang suami-istri? Aku mengalami sindrom ovarium polikistik, sehingga tak dapat hamil. Tetapi, berkali-kali kaubilang, tak mengapa. Atau 'tak mengapa' itu hanyalah di permukaan, sementara hatimu remuk-redam? Lantas karenanya kau mulai dingin dan tak peduli? 

Bukankah ada beberapa kali aku memintamu kawin lagi supaya engkau punya keturunan? Tapi kaubilang, tidak. Bukankah beberapa kali kita sudah obrolkan soal sikapmu ini? Tapi kaubilang, tak ada apa-apa. Engkau hanya sedang banyak pekerjaan. Dulu, seberat apa pun masalah pekerjaan tak pernah kaulepaskan perhatianmu untukku, tetap kaujaga kehangatan cinta dan kasihmu. 

Tetapi, sudahlah. Aku lelah. Aku tak lagi berharap. Biarlah waktu membawa kita, entah menjauh, entah mendekat."

Via menarik napas panjang. Lega? Mungkin. Tetapi, mengapa ada keraguan menyergap dalam senyap. Seketika gundah hatinya. Apa guna surat itu? Apa yang ia harapkan dari Zen setelah membaca surat itu? Penat hati dan pikirannya. Di satu sisi Via tak melihat guna dari surat itu. Di sisi lain ia ingin tak peduli. Ia ingin Zen tahu gundah hatinya. Lalu, lihat nanti apa yang terjadi.

Ia teringat satu ucapan ayahnya yang suka berfilsafat. "Ada masa hidup ini macam permainan catur. Kita lelah menghitung setiap kemungkinan. Karenanya, kita melangkah saja. Serahkan nasib kepada nanti."

Dilipatnya surat itu, lalu diletakkannya di atas meja. Selepas itu ia mempersiapkan makan malam buat mereka berdua. Setelah makan malam terhidang di meja, ia mempersiapkan pakaian bersih buat dikenakan suaminya selepas mandi nanti. Zen selalu mandi dahulu sebelum santap malam.

Diletakkannya pakaian bersih itu di atas ranjang. Di atas pakaian bersih itu ditaruhnya surat yang tadi ia tulis. Tiba-tiba ia ragu. Zen pasti akan membaca surat itu sebelum mereka makan malam. Suasana di meja makan akan tidak nyaman jadinya. Mereka akan sama-sama bersikap canggung. Zen sudah penat bekerja seharian. Via merasa berdosa jika ia merusak kenikmatan makan suaminya.

Via tak jadi meletakkan surat itu di atas pakaian bersih suaminya. Sejenak ia menimbang-nimbang, lalu memutuskan menyimpan surat itu di laci meja riasnya. Esok pagi baru akan diberikannya surat itu kepada Zen.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun