Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) terdapat 2102 entri peribahasa atau setara dengan sekitar 1,75 % dari total entri. Setelah dicermati, terdapat sejumlah peribahasa yang berulang atau sama tetapi beda redaksi, sehingga tersisa 1824 peribahasa.Â
Angka ini jauh lebih banyak daripada peribahasa yang tercatat pada berbagai pustaka lama seperti Klinkert (1866) dengan 183 peribahasa, Maxwell (1879) dengan 301 peribahasa, dan Humphreys (1914) dengan 149 peribahasa. Tidak semua peribahasa pada pustaka lama tersebut telah tesertakan sebagai entri pada KBBI, sehingga koleksi peribahasa pada KBBI masih mungkin untuk bertambah.Â
Ambil contoh seperti pucuk dengan pelepah pada Klinkert (1866), belum terdapat pada KBBI. Demikian pula dengan adat orang mengail, kalau ikan lepas besarlah (Humphreys, 1914) dan hilang adat tegah dipakat (Maxwell, 1879).
Konfigurasi statistik dari koleksi peribahasa pada KBBI tersebut hendak disajikan melalui artikel ini dengan harapan dapat memberikan perspektif yang lebih kaya untuk kita memahami dan menghargai tinggalan masa lalu.
Umumnya, sekitar 41,6 %, Â redaksi peribahasa tersusun oleh empat kata. Pola seperti ada nyawa ada ikan; ada rotan ada duri; ada bunga ada lebah; dan ada tugal ada benih kerap dijumpai.Pada peringkat dua ialah peribahasa tiga kata, sekitar 19%, semisal talam dua muka; buta baru celik; dan bukit jadi paya.Â
Terdapat 48 peribahasa yang memiliki dua kata. Redaksi paling singkat ada pada pukul curi, yang terdiri dari sembilan huruf. Sementara, yang paling panjang adalah kalau kena tampar, biar dengan tangan yang pakai cincin, kalau kena tendang, biar dengan kaki yang pakai kasut, yang terdiri dari 18 kata 90 huruf.
Kata-kata Dominan
Terdapat 1924 ragam kata dasar di dalam koleksi peribahasa KBBI yang terdiri atas adjektiva, adverbia, nomina, verba, numeralia, dan pronomina. Partikel dikecualikan dari statistik ini. Relatif tidak ada kata yang terlalu dominan dipakai di dalam peribahasa.Terdapat 879 atau sekitar 46% ragam kata yang hanya muncul satu kali, sedangkan ragam kata yang terulang paling tidak pada 10 peribahasa atau lebih hanya 137 kata atau sekitar 7%.
Yang boleh jadi menarik ialah kata tidak atau tak merupakan kata yang paling sering muncul. Kata yang tergolong adverbia ini dijumpai pada 163 peribahasa. Jumlah ini akan menjadi 187 peribahasa jika ditambah dengan kata tiada.Â
Hal ini sedikit banyak memberikan gambaran bahwa penyangkalan atau pengingkaran merupakan model yang sering dipilih dalam membangun konstruksi suatu peribahasa. Kita mengenal peribahasa tak ada gading yang tak retak, bukan semua gading punya retak; tak ada kusut yang tak selesai bukan setiap kusut pasti selesai; atau tak akan terlawan buaya menyelam dan bukan siapa boleh lawan buaya menyelam.
Air merupakan nomina yang paling banyak dijumpai. Kata ini tersebar pada 69 peribahasa, diikuti oleh orang yang terdapat pada 62 peribahasa. Dugaan dapat disusun bahwa kemunculan kata air yang sering ini ada kaitannya dengan kehidupan para leluhur kita sebagai pelaut atau nelayan.Â