Kisah pendek berikut ini adalah sebuah tamsil.
Suatu hari masuklah orang ini ke sebuah restoran siap saji. kepada pramusaji ia mendiktekan pesanannya. Sang pramusaji mencatat dengan teliti setiap pesanan, mengulangnya kembali untuk memastikan tak ada pesanan yang terlewat, kemudian meminta si orang tadi untuk menunggu sekian menit. Sambil meninggalkan senyum manis, pramusaji itupun berlalu. Tak lama kemudian si pramusaji datang lagi menghampiri, menyampaikan bahwa salah satu pesanan ternyata tak dapat dipenuhi. Si pramusaji menanyakan kalau-kalau si pelanggan ingin mengganti dengan menu lain. Si orang tadi bilang, tak perlu. Tapi tetap meminta agar pesanan yang tak dapat dipenuhi tadi tetap ditagihkan.
Tak lama pesanan tiba. Bukannya mulai menyantap hidangan, orang tadi malah cuma melihat-lihat saja dengan tatapan dan sikap yang enggan. Berwaktu-waktu berlalu. Sesudah dirasa cukup, iapun ke kasir untuk membayar tagihan. Begitu keluar dari restoran orang ini berteriak kegirangan, sambil mencium-cium bukti pembayaran. Ia tak langsung pulang, melainkan mampir ke toko untuk melaminasi bukti pembayaran, sekaligus memiguranya. Setiba di rumah ia letakkan pigura berisi bukti pembayaran itu di tempat yang strategis agar orang-orang yang bertandang ke rumahnya dapat melihat dengan jelas. Setiap ada kesempatan ia pasti bercerita soal betapa serunya pengalaman dia mendapatkan bukti pembayaran itu.
Kira-kira, serupa itulah orang yang berangkat ke sekolah atau ke kampus untuk sekadar mendapatkan selembar tanda bukti bernama ijazah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H