Semasa SMA, mata pelajaran kesukaan saya adalah Kimia dan Bahasa Indonesia. Boleh jadi kenangan ketika di SMP yang membuat saya menyukai keduanya. Suatu kali datang seorang pedagang buku keliling ke sekolah kami, SMP Negeri 1 Kijang, Bintan, Kepulauan Riau. Salah satu buku, yang menarik minat saya, adalah tentang membuat minuman segar dengan menggunakan sebentuk bahan mirip gula pasir, yaitu citroen zuur. Â Saya tidak ingat apakah saya membeli atau tidak buku itu. Yang jelas kata citroen zuur begitu melekat. Belakangan saya ketahui bahwa itu adalah kata dalam Bahasa Belanda yang berarti asam sitrat: asam organik yang lazim dijumpai di dalam buah dari keluarga limau. Pengalaman lain yang tampaknya membuat saya mulai menyukai kimia adalah ketika berkesempatan menggunakan kertas lakmus. Perubahan warna biru ke merah ketika kertas lakmus dicelup di dalam cairan yang masam, membuat saya terpesona. Semasa SMP itu sayapun sudah mengetahui dan mencoba sendiri bahwa beberapa jenis bunga dapat berfungsi sebagai indikator asam dan basa.Â
Ketika di SMP pula saya mulai menyukai sastra, khususnya puisi. Saya sudah mengenal Chairil Anwar dengan cukup baik. Sayapun sudah mengikuti sepak terjang Soetardji Calzoum Bachri yang dianggap oleh sebagian kritikus sebagai pembaharu puisi Indonesia terbesar setelah Chairil lewat kredo puisinya yang membebaskan kata-kata dari jeratan makna. Pada masa itu sayapun mulai meniru-niru Soetardji dan berkhayal akan menjadi pembaharu puisi berikutnya.
Kenyataan 'pahit'nya adalah bukan kedua mata pelajaran itu yang menghiasi rapor SMA saya dengan nilai yang istimewa. Satu-satunya nilai 9 yang pernah hadir di rapor saya adalah untuk mata pelajaran Kesenian. Apa sebab?
Sejatinya, pelajaran Kesenian di SMA saya adalah pelajaran menggambar, khususnya menggambar perspektif. Keterampilan saya sungguh buruk di bidang ini. Visualisasi tiga dimensi saya payah. Tetapi kenapa bisa dapat nilai 9? Guru saya punya alasan yang menarik.
Suatu hari ia bercerita di kelas, kira-kira begini. Mata pelajaran yang diajarkannya bernama Kesenian, bukan seni menggambar, walau yang diajarkan adalah melulu teknik menggambar. Oleh karena itu, beliau berpandangan bahwa kemampuan siswa di bidang kesenian apapun patutlah untuk dihargai. "Abdullah, saya tahu, puisinya sering dimuat di harian Berita Nasional. Jadi, kemampuan seni sastranya tinggi dan diakui. Saya tidak bisa memberinya nilai rendah, hanya karena semata-mata ia tak bisa menggambar. Sebaliknya, saya perlu menghargai kemampuannya di seni sastra," begitu kira-kira ucapan beliau.
Saya terkesima. Guru yang satu ini telah memberikan sebuah kedalaman yang indah tentang makna "Guru". Â Ketika tahun 2007 saya mulai menjadi seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta, kenangan saya kepada guru saya itu mengental. Saya mengambil pelajaran darinya untuk melihat kemampuan mahasiswa melalui beberapa sudut pandang. Telah bermukim di dalam diri saya sebuah tekad untuk menjadi guru yang tak sekadar mengajarkan pengetahuan.
Saya bersekolah di SMA Negeri 6 Jogjakarta. Pada masa itu cukup banyak puisi saya dimuat di kolom Remaja Nasional, Harian Bernas (Berita Nasional). Tentu saja tidak lagi dengan meniru-niru Soetardji.
Saya masih menulis puisi hingga sekarang. Terutama untuk memberikan kesegaran bagi jiwa yang ada kalanya dahaga. Di tahun 2020 saya menerbitkan antologi puisi pertama saya. Tercapai sudah satu impian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI