Mohon tunggu...
Abdullah Muzi Marpaung
Abdullah Muzi Marpaung Mohon Tunggu... Dosen - Seorang pejalan kaki

Tak rutin, tapi terus...

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Antologi Puisi 35 Tahun

24 November 2020   08:57 Diperbarui: 24 November 2020   09:08 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antologi Puisi Catatan Hari Kemarin (Doc: Pribadi)

Antologi puisi ini adalah buku karya sastra kedua saya, setelah kumpulan cerita pendek 'Lelaki yang Tak Pernah Bertemu Hujan' yang terbit Februari 2020 lalu. Ada yang agak melegakan hati, karena buku ini terbit setelah saya menyelesaikan tugas sebagai kontributor sebuah karya bersama di bidang ilmu dan teknologi pangan. Ialah bidang yang secara akademik saya dibesarkan. Jadi, saya tak terlalu sastra karenanya.

Lama sudah saya menulis puisi. Seingat saya semenjak usia 14 tahun. Pernah terlintas dalam khayalan remaja saya untuk kelak menjadi seorang pujangga. Tapi tidak ternyata. Sastra, puisi khususnya, bagi saya boleh jadi persinggahan saja. Ia ibarat telaga dengan berbagai satwa dan tetumbuhan yang menenteramkan. Ia sebuah jeda yang saya rindukan ketika berada dalam serangkaian rutin yang melelahkan.

Akan tetapi, sastra bukanlah persinggahan yang sembarangan. Saya terus belajar menulis puisi, di antaranya dengan membaca karya berbagai sastrawan. Dari Sapardi hingga Soetardji. Mulai Rendra sampai Emha. Pun dulu saya sering mengirim puisi ke surat kabar dan majalah, lokal maupun nasional. Sebagian dimuat, sebagian besar ditolak. Tak pernah ada definisi yang baku soal puisi bermutu atau kurang bermutu. Setidak-tidaknya menurut saya begitu. Bagi saya sendiri, puisi yang bagus atau indah itu ialah puisi yang memberikan padang yang luas untuk imajinasi, bahkan ketika kata atau idiom yang digunakan tampak sederhana. Segala yang berurusan dengan imajinasi sangatlah subjektif. Begitulah puisi. Maka, saya tak heran, sebagian puisi yang ditolak oleh sebuah koran justru adalah puisi yang indah bagi saya. Demikian pula saat saya mulai menulis di platform blog yang memungkinkan banyak orang membacanya. Sejumlah puisi yang sepi pembaca, adalah puisi kesukaan saya, atau sebaliknya. Ada pula puisi yang sangat saya suka pada suatu ketika, berubah menjadi biasa saja setelah berbilang tahun berlalu. Akan tetapi, ada pula yang lebih kekal saya rasakan keindahan dan lompatan imajinya. Itulah puisi-puisi terbaik dalam penilaian saya. Tentu tak saya katakan puisi yang mana saja.

Ada 85 puisi pada buku antologi puisi ini yang saya tulis dalam kurun waktu 35 tahun. Ada tahuntahun produktif. Ada pula tahun-tahun tanpa puisi sama sekali. Masih saya taruh harap yang sama seperti pada buku sastra pertama saya. Semoga buku ini bertahan lama di lemari buku pembaca. Semoga buku ini dirindukan untuk dibaca ketika seseorang memerlukan jeda, memerlukan sebuah telaga yang tenang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun