Dalam dua hari kemarin saya absen menuliskan catatan satu pengetahuan setiap hari, terutama karena padatnya kegiatan berkenaan dengan Hari Pangan Sedunia, 16 Oktober. Selain itu, keesokan harinya, sabtu 17 Oktober 2020, saya menjadi narasumber tunggal untuk suatu topik yang cukup berat: Desain Rancangan Penelitian dan Analisis Data.
Dalam ketatnya aktivitas, masih saya sempatkan membaca beberapa referensi, terutuma untuk memperbarui materi kuliah. Tadi malam, saya membaca hasil penelitian yang mengingatkan saya kepada suatu pengetahuan lama yang boleh jadi menarik untuk tema satu pengetahuan setiap hari kali ini. Ialah tentang pewarna alami.
Akhir-akhir ini, ada kecenderungan di industri pangan untuk mengurangi pemakaian zat pewarna buatan atas alasan kesehatan dalam jangka panjang. Alternatifnya ada dua: membuat produk pangan tanpa penambahan zat warna (walau mungkin penampilannya kurang menggugah selera) atau mengganti pewarna buatan dengan pewarna alami.Â
Aplikasi pewarna alami pada produk pangan boleh dikata tidaklah mudah. Selain harganya yang relatif berlipat lebih mahal, tantangan paling besar adalah sifatnya yang tidak stabil. Mudah pudar.
Di antara pewarna alami yang paling potensial untuk mewarnai makanan adalah keluarga besar antosianin. Ada beberapa alasan. Pertama, antosianin adalah pewarna yang larut dalam air sehingga mudah diekstraksi dan dapat digunakan secara luas pada produk pangan yang sebagian besar larut air. Kedua, antosianin sangat mudah diperoleh. Antosianin adalah pewarna alami terbanyak kedua yang dijumpai pada tanaman, setelah klorofil atau zat hijau daun.
Ketiga, antosianin memiliki warna yang menarik: merah, ungu, biru, dan biru-hijau. Akan tetapi, ada satu kelemahan yang sangat esensial: antosianin kehilangan warna pada pH di atas 3, atau pH kebanyakan produk pangan. Tentu saja zat warna yang tak berwarna adalah sebuah nasib buruk yang fatal.
Oleh karena itu, betasianin yang berwarna merah-ungu sangat mungkin menjadi pilihan yang lebih baik. Betasianin adalah pewarna alami dari keluarga betalain. Saudara terdekat betasianin adalah betaksantin yang berwarna kuning. Kedua-duanya banyak terdapat pada umbi bit (Beta vulgaris) dan buah naga.Â
Betalain juga dijumpai pada bunga bougenville, bunga jengger ayam dan bunga kenop. Akan tetapi, umbi bit dan buah naga tampaknya merupakan sumber betalain yang paling potensial. Nama betalain diturunkan dari nama depan dari nama ilmiah umbi bit: Beta. Umumnya komposisi betasianin di dalam betalain jauh lebih tinggi dibandingkan betaksantin, sehingga secara umum betalain terlihat berwarna merah ungu.
Dalam skala kecil, warna merah ungu dari buah naga telah mulai digunakan untuk mewarnai beragam penganan. Sama dengan antosianin, betalain juga memiliki manfaat kesehatan yang luas, di antaranya sebagai antidiabetes, penghambat gangguan kardiovaskular, menghambat pikun, dan lain-lain.Â
Akan tetapi, tampaknya betalain lebih tidak mudah diserap oleh tubuh ketimbang antosianin. Berbeda dengan antosianin, betasianin relatif lebih stabil. Selain itu, betasianin akan lebih stabil jika berada bersama-sama dengan asam askorbat atau vitamin C. Sementara, antosianin justru semakin tidak stabil jika berjumpa dengan vitamin C. Tampaknya di masa tak lama lagi akan semakin banyak dijumpai minuman berwarna merah-ungu yang kaya akan vitamin C di pasar.
Untuk warna kuning-jingga, karotenoid yang terdapat pada wortel dan tomat adalah pilihan utama saat ini. Masalahnya, karotenoid sangat sedikit larut di dalam air. Jika betaksantin dapat dipisahkan dari betasianin dengan beaya yang masuk akal, maka boleh jadi betaksantin akan menjadi pilihan yang lebih menarik.