Dari beras pulen kita mendapatkan nasi yang lebih lunak dan lekat, sedangkan beras pera jika ditanak menjadi nasi yang lebih keras dan berbulir. Mengapa demikian? Kita perlu sedikit mengembara ke dunia kimia. Sama dengan biji-bijian lain, beras tersusun oleh tiga bagian utama: kulit (perikarp), bagian dalam (endosperm) dan embrio (germ).
Pada endosperm, yang merupakan bagian terbesar dari beras, terdapat zat pati atau amilum. Zat pati ini merupakan cadangan energi yang disimpan oleh padi, yang kemudian kita 'rampok' untuk menjadi sumber tenaga bagi kita. Zat pati tersusun oleh dua komponen: amilosa dan amilopektin. Kita dapat membedakan keduanya dengan meneteskan obat luka. Amilosa berwarna biru pekat, sedangkan amilopektin berwarna coklat merah.
Perbedaan perbandingan amilosa dan amilopektin menjadi sebab mengapa ada beras pulen dan pera. Kalau suatu jenis beras tak memiliki amilosa, maka sangat lekat dan pulenlah ia, contohnya beras ketan. Kalau suatu jenis beras memiliki amilosa dalam jumlah yang semakin banyak, maka semakin pera sifatnya.
Berdasarkan perbandinga amilosa : amilopektin, beras lantas digolongkan menjadi lima golongan.
a. Beras ketan (0-2% amilosa)
b. Beras beramilosa sangat rendah (2-12%)
c. Beras beramilosa rendah (12-20%)
d. Beras beramilosa sedang (20-25%)
e. Beras beramilosa tinggi (25-33%)
Beras beramilosa sangat rendah dan rendah kita kenal sebagai beras pulen. Umumnya beras pulen memiliki bulir yang pendek, cenderung membulat. Beras beramilosa sedang disebut sebagai beras pulen sedang dan beras beramilosa tinggi disebut beras pera. Umumnya beras pera memiliki bulir yang panjang. Kalau diperhatikan secara geografis, beras di wilayah Asia Timur adalah yang paling pulen dan semakin ke barat secara gradual semakin pera. Orang Jepang dan China lebih menyukai nasi pulen, sementara orang India dan Asia Barat lebih menyukai nasi pera.
Indonesia memiliki banyak varietas beras yang sebagian pulen, dan sebagian lagi pera. Orang Indonesia cenderung menyukai beras pulen, tetapi sebagian lagi khususnya Orang Sumatera dan Kalimantan lebih menyukai nasi pera. Pada umumnya mereka mengonsumsi nasi pera dengan kuah, sehingga menjadi lebih lunak. Inilah yang mungkin menjadi alasan mengapa masyarakat Banjar, Kalimantan Selatan, selalu menyertakan kuah di dalam  hidangan makan mereka sehari-hari.