Kabinet baru yang dibentuk oleh Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka untuk periode 2024-2029 menjadi sorotan. Salah satu poin yang paling mendapat perhatian adalah tidak adanya tokoh Dayak atau perwakilan masyarakat adat Kalimantan dalam Kabinet Merah Putih. Ketidakhadiran representasi Dayak ini menuai kritik dari kalangan masyarakat Dayak, terutama karena Kalimantan Timur kini merupakan Ibu Kota Nusantara (IKN), yang tentunya akan mempengaruhi kehidupan masyarakat adat Dayak yang tinggal di kawasan tersebut.
Keputusan ini menimbulkan perdebatan tentang inklusivitas, keadilan sosial, serta peran masyarakat adat dalam pembangunan nasional. Kalimantan dan Masyarakat Dayak dalam Konteks Pembangunan IKN.Â
Pada tahun 2019, pemerintah Indonesia menetapkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke wilayah Kalimantan Timur, yang secara langsung berimplikasi pada masyarakat adat Dayak. Penetapan Kalimantan Timur sebagai lokasi baru ibu kota negara (IKN) bukan hanya keputusan administratif, tetapi juga keputusan strategis yang melibatkan dampak sosial, budaya, dan ekologis bagi masyarakat lokal. Masyarakat Dayak, yang telah hidup selama berabad-abad di wilayah Kalimantan, memiliki ikatan erat dengan tanah dan hutan yang mereka anggap sebagai bagian dari identitas mereka.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa masyarakat Dayak tidak hanya berperan sebagai penduduk lokal, tetapi juga sebagai penjaga lingkungan, penjaga nilai-nilai budaya, dan simbol dari keberagaman etnis di Indonesia. Karena itulah, keberadaan representasi Dayak dalam pemerintahan diharapkan dapat menjadi jembatan komunikasi yang penting antara masyarakat adat dan pemerintah pusat.
Keputusan tidak melibatkan tokoh Dayak di Kabinet Merah Putih mendapat respons terutama dari kalangan masyarakat adat, dan Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), Dewan Adat Dayak (DAD) se-Indonesia, hingga Organisasi Masyarakat Dayak.Â
Banyak pihak menilai bahwa ketidakhadiran tokoh Dayak di kabinet menunjukkan bahwa pemerintah kurang sensitif terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat adat yang tanahnya menjadi lokasi IKN.Â
Kalimantan dikenal dengan kekayaan alamnya, termasuk hutan hujan tropis yang menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat adat. Tidak adanya perwakilan Dayak di kabinet dianggap sebagai tanda bahwa pemerintah pusat kurang menghargai peran masyarakat adat sebagai penjaga lingkungan. Banyak kalangan khawatir bahwa pembangunan di Kalimantan Timur yang masif dan cepat akan mengancam keberlanjutan hutan serta mengabaikan prinsip-prinsip lingkungan jika masyarakat adat tidak ikut terlibat dalam pengambilan keputusan.
Masyarakat adat Dayak selama ini sudah mengalami berbagai tantangan, terutama dalam menghadapi eksploitasi lahan dan sumber daya alam oleh pihak eksternal. Ketidakhadiran tokoh Dayak di kabinet membuat banyak tokoh adat khawatir bahwa pembangunan IKN akan mengabaikan hak-hak masyarakat lokal.Â
Sebagai negara dengan keberagaman etnis dan budaya, Indonesia memiliki prinsip Bhineka Tunggal Ika yang menekankan pentingnya kesatuan dalam keberagaman. Namun, ketidakhadiran perwakilan Dayak di kabinet dianggap oleh sebagian pihak sebagai pengabaian terhadap prinsip tersebut. Tidak melibatkan masyarakat Dayak dalam pemerintahan juga dapat dilihat sebagai bentuk ketidakadilan, mengingat wilayah mereka akan menjadi bagian dari pembangunan IKN yang masif dan strategis.
Pemerintah sebelumnya sudah berkomitmen untuk memberdayakan masyarakat adat, termasuk melalui program-program perlindungan dan pelestarian budaya. Namun, ketidakhadiran tokoh Dayak dalam kabinet baru ini menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen pemerintah dalam melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka.Â