Demikian juga diriku, aku pernah mengalami keadaan yang paling sulit dalam hidup, dimana tak ada uang, makanan dan setumpuk hutang yang menanti.
Keadaan ini juga yg membuat aku berikrar untuk menjadi manusia yg baru dan merubah pola pikirku selama ini yang mungkin telah salah jalan.
Sebagai seorang Muallaf aku pernah menjalankan ajaran Islam yang keras dan ekstrim, sehingga karena mempertahankan sebuah prinsip agama, orang tua pun ku hardik dan tak kuhormati, dan guruku adalah segalanya dan kelompokku adalah yang paling benar, dan itulah proses jalan yang harus kulalui saat itu hingga saat ini akupun masih tetap berjuang untuk menjadi manusia yang lebih baik, lembut dan melihat agama dari kacamata yang universal.
Dalam keadaan Ghirah (Semangat) yang tinggi namun menyeaatkan itu, aku merasa hanya diriku yang paling benar Islamnya, sehingga dengan mudah aku katakan orang tuaku itu Kafir, ritual Islam yang lain sebagai Bidah, dan hanya aku yg berada dijalan yang Haq (Benar), militan dan Murni.
Semakin aku jalani pemahaman Islam ku itu, semakin sulit hidupku, bahkan untuk membeli permen untuk anakku saja aku harus berhutang, (Alhamdulillah aku diberikan seorang istri yangbsuper sabar dan tawakal), namun kala itu aku tidak sadar bahwa ada yang salah dengan jalan hidupku, dengan caraku menghayati agama, aku tetap merasa bahwa ini adalah ujian Allah dan bagian dari jihad fi sabilillah.
Berkali kali papa mengingatkan bahwa jalan yang aku tempuh sudah salah, Islam itu tidak demikian, harusnya santun dan lemah lembut, buakannya aku mendengar, malah papa aku maki dengan kata kata kasar plus sebutan Kafir, sungguh malu aku mengenangnya sekarang, aku sedang dimabukkan oleh pergerakan dan mencari kemurniaan Islam.
Keadaan hidupku semakin terpuruk, hinaan serta makian dan cacian datang bertubi tubi, orang orang muslim, sahabatku yang mengingatkanku, aku bantah dengan dalil dan ayat ayat yang mendukung, aku sangat marah bila ustadz, jamaah dan ajarannya di colek, sampai suatu saat, ditengah keterpurukan itu, Papa masuk rumah sakit karena sakit usus buntu.
Keadaan tak berdaya, jangankan membantu biaya operasi papa, untuk beli susu anakku saja aku sulitnya minta ampun.
Sampai suatu ketika, aku bertemu dengan seorang bapak dari Purwokerto, dari penampilannya sama sekali tidak terlihat bahwa dia orang yang religius, malah terkesan preman dan bebas, sambil merokok pula....
Beliau mengatakan hal yang demikian mencerahkan, gayanya yang lembut namun tegas tak dapat kulupakan hingga saat ini, beliau mengatakan " Lims, jangan mengeluh, benar adanya bahwa rejeki itu Allah yang mengatur, namun kamu harus ingat Lim, rejeki yang Allah berikan itu ada kerannya, dan keran rejeki itu bernama Ibu....., mau besar atau kecil rejekimu beliaulah yang menentukan, maka saat prilakumu tidak baik kepada ibu kecil lah air yang mengalir, dan begitu juga sebaliknya.
Lim, Islam bila sesuai dengan pemahamanmu sekarang, tentunya tidak akan dapat berkembang di dunia ini, sesungguhnya dengan akhlaq dan kelemah lembutan itulah yang akan menggoyahkan hati, bagaimana mungkin engkau membentuk dirimu jadi batu, sedang engkau dilahirkan oleh ibumu sebagai manusia ?.