" Berpuasa itu seperti perjuangan seorang pendaki gunung, 10 hari pertama ibarat perjalanan mendaki ke puncaknya, rasanya akan berat, meski perbekalan penuh semua akan setuju bahwa untuk mencapai puncak bukanlah hal mudah. Perjalanan akan terasa sangat lambat. 10 hari kedua bak pendaki yang telah mencapai puncak, dan menikmati keindahan dan kepuasan mencapai tempat dari setengah perjalanan yang menjadi tujuan, perjalanan yang 1 tingkat lebih ringan dari yang pertama. Dan 10 hari terakhir jatahnya turun dari gunung. Bukankah turun itu tak sesulit mendaki? tentu akan sangat terasa cepat, tapi disinilah akan banyak godaan, meski tentu saja merasa bahagia bisa kembali pulang, kesedihan karena rindu untuk kembali mendaki jauh lebih besar".
Potongan petuah Uwa di surau belasan tahun silam selalu hadir ketika ramadhan tiba. Tentu saja saat itu aku tak mengerti, yang aku pahami hanyalah bagaimana senangnya mendaki gunung, Hinggga aku berfikir jika besar nanti aku mau jadi pendaki, "keren kan wa?" kataku, dan Uwa hanya tersenyum melihat bocah yang beliau yakini pasti tak paham apa yang beliau sampaikan, hmmmm...masa kecil.
Waktu berjalan tak pernah henti, apa yang terjadi dan ditemui akan menjadi kunci mencari arti dikemudian hari. Secara pribadi, perumpaman yang disampaikan Uwa memang ada benarnya. 10 hari pertama semua pasti merasa agak berat melaksanakan puasa, terlebih bagi yang tak biasa melatih dengan puasa sunah baik itu senin kamis, atau puasa tiga hari di pertengahan bulan (seperti yang nulis..heeee), walaupun sebenarnya awal-awal Ramadhan biasanya masih bersemanagat ala pejuang 45, tapi untuk mencapai akhir rasanya sangat jauh ( lha iya kan baru mulai, piye sih..). Bahkan saat memasuki awal ramadhan banyak acara-acara yang aku tak tahu apakah ini hanya ada di tempatku atau di daerah lain juga. Munggahan. Ya, munggahan, biasanya dilakukan satu atau dua hari menjelang ramadhan, tak ada yang aneh dalam acara tersebut, hanya makan-makan, seringkali jadi candaan, terakhiran katanya (memangnya besok ga bakalan makan lagi apa?).
10 hari kedua, memang tarasa lebih ringan, mungkin karena sudah merasa biasa, kali ini aku benar-benar berterima kasih pada pepatah alah bisa karena biasa. Dan di 10 hari terakhir kecepatannya seperti roda yang menggelinding di tururnan, ga berasa coy. Tapi, disinalah muncul tetek bengek yang spertinya sudah membudaya di masyarakat kita, 10 hari terakhir, artinya kesempatan kita di bulan ramadhan tahun itu sudah di ujung jalan, bukannya dimanfaatkan sebaik mungkin malah disibukkan dengan persiapan baju baru, kue-kue lebaran, paket-paket lebaran, pusat-pusat perbelanjaan penuh sesak di "hijrahi" para jamah terawih, jumlah shaf di mushola makin hari makin diskon (baca berkurang).
Di penghujung Ramadhan merasa bahagia. Ya, karena akan menemui hari kemenangan, lalu sedihnya di mana? katanya rasa sedih akan kerinduan mendaki jauh lebih besar. Ini akan terasa saat Ramadhan benar-benar berakhir, padahal siapa yang tahu apakah tahun depan kesempatan bertemu ramadhan lagi akan hadir atau tidak.
Mumpung masih sepertiga ramadhan yang pertama, yuk manfatkan sebaik-baiknya.
Uwa, sore ini aku tak kemana-mana, ini ngabuburitku yang paling berkesan, saat akau mampu menorehkan pena, dan mencoba memaknai apa yang engkau katakan belasan tahun silam, pikirku melanglang ke berbagai belahan dunia, bahkan tempatmu kini berada yang tak mampu ku tatap dengan mata, hanya hati yang senantiasa berdo'a semoga kau bagahia di alam sana, tersenyum di sisi Sang Maha Kuasa.Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H