Sebagai orang yang besar di era 90an, tentu kita kenal dengan sinetron si Doel Anak Sekolahan (SDAS). Sinetron yang begitu melegenda di Indonesia, dengan rating tertinggi di Indonesia dan belum ada yang bisa mengalahkan rating dari sinetron tersebut. Bahkan ada ungkapan yang mengatakan bahwa jalanandi Indonesia akan sepi ketika sinetron Si Doel Anak Sekolahan diputar di televisi.
Saya teringat ketika mulai mengenal televisi dan menonton sinetron SDAS bersama-sama dengan keluarga. Kebetulan pada waktu saya kecil, sinetron tersebut diputas pada Sabtu malam, sehingga orang tua saya mengizinkan menonton, tentu saja diawasi oleh kedua orang tua saya. Entah magnet apa yang membuat saya sangat menggemari sinetron tersebut, mungkin karena tokohnya, ceritanya (pada waktu itu, saya belum mengerti kisah cinta, saya hanya senang melihat bang Mandra yang lucu). Tapi yang jelas, momen tersebut merupakan saat yang menyenangkan karena kami sekeluarga bisa membahas mengenai acara yang kami tonton. Diskusi hangat antara saya, kakak saya, adik saya, ibu, dan bapak. Membahas mengenai moral, membahas mengenai cerita, kadang-kadang tentang budaya yang ada dalam sinetron tersebut.
Namun, semakin menuju zaman yang lebih modern, diskusi-diskusi tersebut semakin jarang di keluarga saya. Bukan karena tidak ada waktu untuk berkumpul bersama, tapi karena tidak ada tontonan bermutu yang bisa membuat kami mengambil topik hangat untuk didiskusikan. Tayangan televisi sekarang yang ada semakin tidak karuan. Acara yang bagus hanya tinggal sedikit dan semakin lama semakin pudar karena harus bertekuk lutut pada rating. Komedi-komedi slapstick yang mengedepankan kekerasan sebagai bahan lawakan. Atau sinetron-sinetron yang bertema remaja, tapi cerita yang ditampilkan malah jauh dari umur remaja yang menjadi target dari sinetron tersebut, cerita kekerasan di sekolah, percintaan yang tidak masuk akal dan hedonisme yang berlebihan. Tidak ada moral yang bisa diambil selain kesimpulan bahwa kaya menindas miskin, anak yang merana, ternyata seorang putri yang tertukar dari orang kaya. Tipikal cerita yang tidak masuk akal dan tidak bisa diambil manfaatnya. Apa yang bisa dipelajari dari hal itu?
Padahal televisi adalah salah satu media pembelajaran yang bisa mendidik dengan cara efektif. Siapa yang tidak kenal televisi? Harganya yang semakin terjangkau membuat televisi bukan termasuk barang mewah yang sulit dibeli. Banyak orang yang senang menonton televisi, dan mungkin rela duduk berjam-jam di depan televisi. Namun, melihat acara yang ada sekarang, apakah masih bisa digunakan untuk mendidik dan memberikan pembelajaran? Para pemilik stasiun TV berlomba-lomba mengejar rating demi mendapatkan sponsor agar tercapai keuntungan. Sangat profit oriented, dan terkadang menempuh cara dengan menayangkan siaran yang tidak masuk akal demi mencapai rating dan untung yang besar.
Saya merindukan suasana ketika sekeluarga menonton Dunia Dalam Berita, berdiskusi tentang sinetron Keluarga Cemara, atau ikut menebak jawaban dari kuis yang ditayangkan di stasiun televis swasta. Disukusi yang hangat dan mengeratkan, dan juga menambah wawasan. Kapan bisa terwujud kembali? Saya yakin pasti bisa. Semoga para pemilik televisi tersebut terketuk hatinya, bisa memikirkan bagaimana membangun bangsa daripada hanya mengejar keuntungan semata.
Salam hangat, tetap semangat!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H