Mohon tunggu...
Bangkid Harahap
Bangkid Harahap Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Teruslah sabar, karena kesabaran itu tiada berbatas

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Sinetron di Hidup Nyata

8 Maret 2014   13:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Jumat, di kantor heboh dengan pemberitaan di salah satu media berita online mengenai sepasang kekasih yang membunuh seorang perempuan yang kemudian mayatnya dibuang di jalan tol. Parahnya lagi,korban pembunuhan itu adalah mantan kekasih dari si pria tersebut, dan pacar barunya ikut bekerja sama membunuh korban karena merasa cemburu dengan korban yang masih dicintai oleh si pria tersebut. Kalau istilah anak gaul zaman sekarang, si pria susah “move on” dari mantan kekasihnya sehingga demi merebut hati si pria, maka perempuan yang merupakan pacar baru dari pria tersebut ikut bekerja sama dengan membantu melakukan perbuatan naas tersebut. Yang parahnya lagi, pasangan pembunuh tersebut ikut mengucapkan bela sungkawa di media sosial. Kalau kata teman saya, mereka itu benar-benar pasangan yang sejati... sifat psikopatnya.

Melihat berita tersebut, saya merasa seperti cerita sinetron, hanya saja ini bukan akting, tapi nyata. Seperti sinetron yang direalisasikan di dunia nyata. Seorang pria baru putus dari pacarnya, mendapat kekasih baru, kekasih baru cemburu dengan mantan si prian, si pria susah berpindah ke lain hati, namun sang mantan kekasih sudah tidak punya perasaan apapun kepada si pria, sehingga si pria benci, lalu memutuskan untuk membunuhnya, dibantu oleh pacar barunya yang ingin merebut cinta si pria tersebut. Sangat fiksi untuk kejadian yang faktual.

Kembali ke kasus pembunuhan tersebut, saya merasa heran. Darimana rencana pembunuhan itu datang, apa latar belakangnya, apakah benar hanya cemburu buta? Saya merasa heran mengapa anak muda Indonesia yang sekarang mengaku sangat terpelajar, bisa rendah kecerdasan emosionalnya, hanya karena cemburu buta, sampai melakukan tindakan yang merenggut nyawa.

Berbicara tentang kecerdasan emosional, sebuah penelitian berpendapat bahwa kecerdasan emosional tersebut 2 kali lebih penting daripada kecerdasan intelektual. Menurut Howard Gardner (1983), terdapat lima pokok utama dari kecerdasan emosional seseorang, yakni mampu menyadari dan mengelola emosi diri sendiri, memiliki kepekaan terhadap emosi orang lain, mampu merespon dan bernegosiasi dengan orang lain secara emosional, serta dapat menggunakan emosi sebagai alat untuk memotivasi diri (http://id.wikipedia.org/wiki/Kecerdasan_emosional). Menilik kasus di atas, tentu saja pelaku memiliki kecerdasan intelektual. Mereka merencanakan kasus pembunuhan, cara membunuh, lokasi pembuangan mayat, bahkan kamuflase seolah-olah mereka turut berbelasungkawa terhadap korban dan keluarganya. Tapi bagaimana dengan kecerdasan emosionalnya? Kemampuan si pria mengelola emosi karena ditinggal kekasihnya, kemampuan si wanita mengelola emosinya agar tidak cemburu kepada mantan kekasih si pria tersebut sehingga membuat si wanita tersebut menghalalkan segala cara untuk merebut hati dari si pria?

Melihat kasus pembunuhan yang sangat “sinetron” tersebut, saya menjadi sangat khawatir apakah benar sinetron di Indonesia menunjukkan hal yang sama? Gunakan segala cara untuk mencapai tujuan meskipun kamu harus menyakiti orang lain? Atau apabila kamu punya kekasih baru, gunakan segala cara untuk merebut hatinya meskipun harus mengorbankan orang lain?

Saya tidak menggeneralisasi seluruh sinetron, mungkin masih ada sinetron yang mendidik moral anak bangsa, hanya saja jika hampir seluruh cerita sinetron didominasi oleh hedonisme dan cerita yang tidak mendidik, kita sebagai orang tua harus mendampingi anak-anak apabila mereka menonton tv, atau seperti yang teman saya lakukan, tidak ada tv di rumah, hari-hari diisi dengan diskusi bersama anak. Itu pilihan anda, pilihan kita sebagai orang tua. Yang jelas, semoga kisah kasih yang berujung maut tersebut tidak terulang lagi. Munngkin tidak hanya pengaruh tontonan, bisa juga pengaruh lingkungan yang tidak baik sehingga memengaruhi kecerdasan emosional para pelaku, atau bisa jadi ketiadaan pendidikan agama yang baik dan contoh baik dari orang tua yang bisa mencerdaskan si anak, baik dari segi intelektual ataupun dari segi emosional. Yang jelas, kita semua punya andil untuk mendidik anak.

Dan kepada keluarga korban, saya turut mengucapkan bela sungkawa yang sedalam-dalamnya. Semoga arwah korban diterima dengan baik di sisi-Nya. Semoga amal ibadahnya dan segala kebaikannya diterima di sisi-Nya. Dan kepada pelaku, congratulation. You are the perfect couple, sama-sama sempurna psikopatnya. Semoga mendapatkan hukuman yang setimpal tidak hanya dengan hukum yang (katanya) adil di negeri kita, tapi juga dari hukuman yang (pasti adil) dari sang Maha Pencipta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun