Di halaman depan TK, semua temannya sudah dijemput. Kini tinggallah ia berdua dengan seorang polisi. Polisi ini mendekat dan bertanya, “Mana ibumu nak?”. Ia diam dan takut. Kata teman temannya, polisi itu jahat. Antara ketakutan dan sedih, ia tekadkan hati untuk pulang berjalan kaki. "Biarlah dengan gerimis hujan. Biarlah sampai tengah malam nanti. Aku harus pulang", hatinya tegar berkata. Dikejauhan langkah, tangisnya terhenti. Ia teringat kata kata ayah. Walaupun masih kecil, ayah selalu mengajarkan tentang keberanian. “Ayah, ini anakmu, aku buktikan aku anak yang berani”, ia tidak menangis lagi. Ia berusaha mencari sendiri, jalannya bis jemputan yang sering dilalui. Hujan mulai berhenti, dan rupa bis perlahan mendekat dengan jelas. Tiba tiba anak itu menjerit, bahkan sekeras kerasnya, “Ibu..., ibu..., ibu....., (pastilah itu bis jemputanku, pastilah ada ibu, pastilah karena ibu)”. Ia berlari ketika sosok seseorang wanita turun. Ia berlari dan memeluknya....., “Ibu, mengapa engkau meninggalkan aku?”. Pertanyaan dan kisah sedih ini membekas sampai saat ini. Setelah besar, sang anak baru mengerti. Tidak semua polisi itu jahat. Kata kata generalisasi, belum tentu sebuah kebenaran. Tidak mungkin ibunya tega meninggalkan dirinya. Cinta sejati menghapuskan keraguan. Hanya karena bis yang mengalami kemacetan, tidak seharusnya kebenaran dan cinta tersekat kekaburan. Kini kedua orang tuanya telah tiada, dan ia semakin dewasa. Perih yang dalam harus dialaminya. Siklus kepedihan, merasa kecil lagi, luka batin, kehilangan, akan selalu terjadi. Untuk mengerti cinta yang saling melindungi, yang menganggitkan sejuta harapan, tak semudah dimengerti dengan kata percaya. Untuk mengerti makna cinta sejati, setiap insan membutuhkan pengorbanan. Ia mulai mengagungkan hukum kekekalan perubahan. Tidak ada yang kekal kecuali kasih, harapan dan iman. Inilah pesan sakral dari ayah dan ibunya saat saat kepergian, walaupun mereka hidup dalam beda iman. Satu dalam cinta. Sang “anak” terbangun. Mimpinya tadi membangkitkan kisah lama yang membekas. Hari yang lalu ia alami lagi, kehilangan kasih dari sang kekasih........ “ Tuhan, mengapa Engkau meninggalkan aku. Tuhan, ijinkan cobaan ini berlalu dariku”, gumamnya keluar tanpa disadari. “Sukar dimengerti. Hanya karena hilangnya sinyal atau sengaja mengheningkan diri, sungguh menimbulkan bayangan ketakutan dan keraguan. Pikiranku membuncah, keraguan memaksaku untuk menghapus jejak. Apa arti dari kebisuan kali ini, padahal tadi tersapa? Mungkinkah ini pembelajaran, agar aku harus mengerti lagi, makna “kehilangan demi kekekalan cinta?”. Tapi,..terngiang kembali,...mengapa ketulusan cintamu itu, terucap setelah berpisah? Dan tekadmu itu menutup putaran waktu untuk kembali, seribu kali? Kiasan, sesal atau tulus untuk tidak bersahabat atau...?”, logika tamaknya mencari pembenaran diri dan berusaha keras melawan rasa. Pertanyaan bersama kisah kecilnya terreinkarnasi, campur aduk dalam kelam mimpi tadi. Anak yang ditinggalkan. Ia melepaskan satu nafas dengan ketegaran ketetapan, “Adios Amigos Kekasihku, biarkan aku tetap sahabatmu tanpa hipokrit. Biarlah ada kebebasan atas semua beban. Apa yang telah terucap, ternyata bukan hanya dalam relasi untaian berarti. Aku salah. Biarkanlah perpisahan meringankan langkahmu. Engkau akan menari bagai burung gereja........ Biarlah waktu yang membuktikan kepasrahan pisah kita. Biarlah waktu mengubah kesedihan menjadi kebahagian. Biarlah hanya senandung damai tanpa benci, yang selalu mengilhami. Biarlah aku menemukan lagi, sejuta makna katamu menginspirasi. Sekali emas tetaplah emas”. Kerinduan akan kekasih inspirasinya itu, tidak akan pernah terhapuskan dalam kesunyian. Tidak bisa dipungkiri, kadang sesaat langkah terhenti, ketika tergetar dengan intro nada everlasting song Julio Iglesias, If You Go Away. Menyayat kalbu dalam setiap kata dan nada. Lagu yang telah terarsip abadi dalam album reuni........ “Berimajinasilah, bila ketulusan dan kecewamu tidak menyelimuti lembaran waktu, aku akan bernyanyi dengan gitarku. Tulusku bersama ketulusanmu. I'll talk to your eyes, that I............”, cindera untuk kekasih yang mewakili lubuk hatinya. Ia mencari saat yang tepat untuk berkata, "Lihatlah dan ijinkan Aku berlutut di hadapanmu, dalam kelelahan mencari kata. Kalimat yang tulus tanpa hipokrit lagi. Dengarlah janji dan permohonanku dengan kerendahan hati: Seribu manusia tak akan membuatku takut (ayah pernah berkata) Tapi satu manusia pembawa keindahan dalam perdamaian akan meluluhkan nyali (ibu pernah cerita) Seribu cerca tak akan membuatku bergeming Tapi satu kekecewaan harus kutawar dengan sejuta maaf,......... harus Seribu ketetapan kata pisahmu mudah kutepis Tapi satu tanda kedamaian akan langsung menghunus ulu hatiku Biarkan seribu kehinaan jadi hukuman atas salahku Hanya satu yang aku inginkan, Tanda kerelaan maafmu Hanya........satu......... tanda........tanpa beban lagi Senyummu di negeri awan kita yang terdelete Sampai berkalang tanah, aku menanti........senyummu. Bukan tangis, diam atau hahahihi Kebahagianku ada dalam ketulusan senyummu Tanpa setitikpun air mata Jika tidak......, maka tiadalah arti kenangan dan percaya itu Aku tetap pulang berjalan kaki Dalam gerimis hujan, I wont cry Entah sampai kapan, reinkarnasi mimpi bisa terhenti". Catatan: Brur, apa yang perlu ditakuti bercinta di negeri awan, asalkan bukan “ALC” toh. Ses, jangan takut memberi tanda cinta, diam pun sudah takdirmu bercahaya indah dan penuh kedamaian. Tetaplah bermozaik dalam karya apa saja bagi pecinta makna kata. Tanpa takut atas ketakutan sendiri. Toh belum tentu semua cerminan diri. Maksud tulisan sangatlah tergantung untaian dan pesannya. Walaupun sederhana ungkapan kata, yang penting bermakna dan mencerahkan. Untuk negeri maya, "Dimana kedamaian menjadi istananya di negeri awan", kidung impian seorang Katon Bagaskara dalam lirik Negeri di Awan. Negeri yang penuh tebaran emas, mutiara, dan zamrud inspirasi, tanpa tebang pilih kasih. Inspirasi telah menjadi jiwa tulisannya. Sumber gambar : 1.bp.blogspot.com/TAODZ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H