Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Jilid II, Revolusi, Sistem (Feedback), Mana Jalan Keluar? (II)

19 April 2010   21:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gambaran Kekinian Dan Demokrasi

Dengan banyak terbongkarnya tindak korupsi, menunjukan, abuse of power dan atau kriminalisasi lembaga negara, belum tentu karena direkayasa. Emangnya Gayus, BA, oknum hakim, kejaksaan, dan kepolisian, terlibat kejahatan pajak, karena direkayasa oleh kelompok prorevolusi. Memang sudah buruk yah tetap buruk, kalau tidak ingin dibilang busuk.

Hari hari, sikap egoisme makin mengental. Lihat saja dengan penggunaan jalan tol. Memotong hak jalan kenderaan lain sesukanya. Tidak bisa nyalip dari kanan, potong jalur kiri. Lambat sedikit diklakson. Suap, pungutan liar, korup kecil kecilan terasa sampai tingkat paling bawah. Mau pelayanan ekstra, sisipkan uang ekstra. Pelayanan publik ada harga ekstranya.

Perubahan dalam era reformasi melambat, bahkan tergerogoti. Tidak jelas kelihatan, gambaran harapan di ujung jembatan emas reformasi di depan. Buat apa kalau begitu reformasi? Penerapan otonomi tidak terarah. Justru sikap ego daerah yang menonjol. Kontrol atas tindakan korupsi daerah semakin melemah, pada saat diberi kuasa luas pengelolaan sendiri. Ratusan aturan daerah melanggar aturan pusat, atau aturan di atasnya.

Tata cara pemakzulan dipersulit. Mengaku bukan american style, presidensial, tapi mirip mirip. Made in status quo. Tiap ada perubahan pimpinan, ada made in status quo. Penguasa terbaru, memasukkan kepentingannya atas tata cara pemakzulan. Kalau mentok, pakai mekanisme suara terbanyak. Menang. Tidak perduli dengan suara lain. The Winner Take It All. Termasuk jika berbentur dengan kepentingan rakyat banyak.Yah, sampai kapan begitu? Kepentingan absolut, kontrol tidak. Habis pemilu begitu lagi. Habis reformasi atau revolusi begitu lagi. Tidak banyak yang bisa diharapkan untuk perubahan? Saudara tidak merasakan? EGP sajalah.

Pilkada, dan semua pemilu di Indonesia, semakin banyak mengeruk kas negara. Hasil kas yang mengandalkan utang dan pajak negara. Sepertinya BangKemal tidak rela, pajak dan utang negara itu, untuk biaya kampanye para kontestan (ada pos negara untuk itu). Lebih rela buat mahasiswa miskin. Tapi dibenarkan dengan kata kunci generalisasi, demi pilar demokrasi rakyat. Rakyat bebas memilih dan untuk dipilih. Tidak nyambung. Outputnya apa buat kontestan yang dibiayai negara? Muncul pimpinan berkualitas? Atau terpilihnya calo politik, pengusaha dan artis nonkapable? Prosesnya kapitalis. Prosesnya, menggunakan uang (partai, pribadi atau pos pendanaan dari negara) untuk mengangkat citra. Citra bisa dibeli. Tergantung iklannya. Frekwensi tinggi atau tidak. Malah ada lembaga swasta khusus untuk pencitraan. Peluang bisnis. Yang banyak keluar uang, yang besar kemungkinan terpilih. Inikah hasil reformasi? Inkosistensi dengan watak luhur, contoh keteladanan kepemimpinan pahlawan dan pimpinan nasional berabad abad. Bukankah sebenarnya, pemilu adalah juga wadah pendidikan politik rakyat?

Konsekuensi outputnya, kontestan menang atau kalah, terikat beban pengembalian pengeluaran. Teori ekonomi, pengeluaran sekecil kecilnya, menghasilkan keuntungan sebesar besarnya. Siapa yang mau rugi? Alhasil, kita sendiri menaburkan benih tindak korupsi buat mereka. Akibat proses demokrasi karena iklan (uang), menghasilkan banyak pempinan opurtunis. Se-Indonesia. Inkonsisten dengan aspirasi rakyat soal kepemimpinan nasional. BangKemal tidak mengatakan mereka semua tidak bermoral. Tapi sistem ini cocok? Ada dua sifat teknis, yang satu kapitalis, opurtunis dan satunya button up, aspiratif. Mana yang kita pilih? Lanjut.

Mengapa tidak dibuat semacam model referendum saja? Input nama nama datang dari rakyat, berikut pilihan kualifikasi. Yang masuk kualifikasi, banyak suara, ditanyakan kesediaannya oleh komite pemilu. Pilih lagi nama nama kontestan tersebut sebagai tahap akhir pemilihan terbanyak. Teknisnya bisa konvensional, ditambah dengan memanfaatkan IT (internet) sebagai alternatif. Tuntas. Lanjut.

<!-- @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } -->

Tulisan I, Tulisan II,  Tulisan III, Tulisan IV

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun