Dessy Pujiastuti anak ustad di Kijang. Ibunya kelahiran Singapore. Ia cum laude dengan IPK 3, 90. Kuliah di Jakarta sembari kerja paruh waktu sebagai petugas perpustakaan kampus. Dessy terbiasa dengan hilangnya keceriaan masa remaja sejak SMA. Tiap mahasiswa yang berani mendekati dirinya mental sendiri. Kecurigaan menjadi benteng pertahanan diri. Tinggi hati tapi brilian. Tetapi mengapa tidak berlaku hal yang sama untuk Kondrad? Kondrad sanggup mencuri perhatiannya sejak acara dialog lintas agama dua tahun lalu. Satu buku akhirnya kelar gara-gara keisengan Kondrad.
"Sudah ribuan tahun. Ketimbang masuk ke lubang tak berujung, eh, ternyata penuh berkubang fitnah karena takut dan iri. Bahkan tamak dan dengki*. Mendingan seperti yang dilakukan Maria Audrey Lukito. Bukan figurnya yah. Bukankah aku seseorangmu? He-he. Menulislah tentang Kitabmu atau dengan referensinya, menurut pengalaman dan pikiranmu sendiri! Kontemplasi juga toh. Nggak usah menjadi 'orang kaya' karena menukik batas kiri-kanan kalau efeknya dosa-dosa berantai. Lebih baik menjadi pengemis makna, karena kita akan menemukan ujung untaian mutiara kata, Tuhan menjadi milik siapa saja*," demikian konklusi Dessy setelah berdebat sengit. Jawab Kondrad, "Hayo, kamu dulu buktikan. IP-nya khan hampir sama dengan kamu?" Â Dessy hanya tersenyum sambil berdecak heran. Dongkol benar rasanya, "Sementara ini kelihatannya ia angkuh. Begana-begini dan berubah-ubah. Dasar mahasiswa abadi. Nggak malu gitu dengan prestasi wanita? Jangan-jangan batu dan paku isi logos tengkoraknya. Ha-ha. Maklum, perdebatan apa saja selalu larinya ke harga diri daripada inti dan solusi." Ia pun tidak sabar ingin segera menunjukkan seluruh draf kompilasi karyanya, "Biar baron di kastil hatiku luluh lantak dan hancur lebur hatinya, terkelepek dan tidak keras kepala lagi karena bukti, bukti, bukti." Â Dessy tahu Kondrad memang pendukung setia esai-esai Dessy tentang imannya.
Kondrad anak mantan kapten kapal tanker. Alkisah nasip memang tak berdaya di bawah ketiak waktu. Ayahnya dijeblos ke bui. Ia korban permainan mafia pasar gelap permata internasional. Ia tidak tahu sama sekali isi titipan kotak kado dari sahabat karibnya ketika kembali ke Jakarta. Nyatalah sudah, teman terdekat sekalipun memanfaat jabatannya, dan mengkhianati kejujuran dalam satu ikatan persahabatan, demi income seindah mimpi tanpa etika.
Selama di penjara, kekayaan habis terkuras. Perhiasan sampai cincin nikah juga habis tergadai. Hasilnya tersebar seantero tangan-tangan tertadah tanpa belas kasihan lagi. Dari sipir, supir jaksa, sampai ke mafia peradilan lainnya bagai singa kelaparan. Tersenyum dan tertawa, bebas menikmati penderitaan orang lain. Meskipun dengan sumpah terucap di bawah buku aturan pengabdian negara, di bawah kitab suci masing-masing, nurani mudah rapuh dikangkangi segepuk uang.
Bantuan atau pinjaman sanak saudara hanya menjadi beban ketidakpastian hari esok. Ayah akhirnya mengalami kesedihan luar biasa. Ia sering melamun dan tidak mampu memejamkan mata sampai dini hari. Hari berlalu senantiasa berlaku sama. Kehormatan seorang laki-laki telah menjadi sia-sia. Tanpa daya mempersembahkan cucuran keringat tangan dan kaki untuk kebahagiaan keluarga. Semestinya tidaklah terpasung dalam lamunan di bilik dingin berjeruji besi. Apa yang terjadi dengan nasib istri dan anaknya? Andaikan, andaikan, andaikan waktu membalikkan keadaan kembali seperti dulu, cobaan kejujuran yang mahal ini tidaklah menyita semua kekuatannya sebagai seorang laki-laki, sebagai kepala keluarga. Tubuh kurus itu akhirnya roboh terserang pneumonia karena ia berubah menjadi perokok berat. Penderitaan bertubi-tubilah yang kembali menjadi sahabat, bukan tawakal dalam doa*. Semua itu hendak menuding tanpa terbantahkan lagi, "Engkau sekarang adalah pengemis bagi anak dan istrimu. Bagi sahabat dan kerabat. Kepada siapa lagi sanjungan atas kesombongan menjadi sorotan mata, dengan gagah berkacak pinggang, bangga tak terlepas dari tangan kekar kebesaranmu? Oh, dunia."
Catatan: *) Ditambah, diubah, terinspirasi dari lirik lagu Nasihat Pengemis Untuk Istri, Ebit G. Ade. Bersambung (reposting dari blog pribadi). Sumber Youtube : http://youtu.be/LYL7YFuBfg4
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H