Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Mereka Julukiku Hanya (Lembar Akhir: Puisi Anakku Aib Terbilang )

23 Desember 2012   19:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:08 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

tidak memilih urutanurutan halaman hanya dengan tekersik t e r l e w a t i  rohroh pemeraga zaman meniadakan peritperit membait di pusaran i n t i terlukis hanya sesak memperkanon nafas mahasempurnam e n g g e n a n g i hanya di taman bergantung sekabut aroma       m e m u s a r ibegitulah dataran gigir aktiva ayahibu hanya paradoks d e m i putihnya pasir pantai dengan hanya memperayat bahasa a b r a s i berlumur orasiorasi k u b e r n y a n y i setahun h a n y a

selaras titik akhir maut tuhan bicara jalan hitamku a t a s n a m a pedang jehanne tuhan bicara anugerahkau hitamku b e r n a m a selaras tengkuk peluru para petarungkau atas doadoa b e r n a m a selaras para penyapu jalan julukanku sampahkau kita b e r n a m a hitam membuktikan siapa sebenarnya di balik prasadar b e r n a m a selaras pustaka negeri setelah katakata langit beribadah a t a s n a m a

tarikan nafas jalanan digerakkan s u a r a s u a r ahitam itu nama mimpi yang begitu berat m e n y e n t a ktanyakan apa arti kemerdekaan dengan sepotong lagu dan b e n d e r atidakkah itu perjuangan para petani dan t u k a n g b e c a ktidakkah kelompokkelompok agama dan kampungkampung b u d a y atidakkah juga veteran dan kaum marjinal yang     t e r l u p a k a ndi setiap detak nadi mereka yang tidak kuat lagi m e m b o h o n g i sepotong pikiran yang jatuh dan tersadar b e r k a l i k a l i di setiap lekuk pralambang warisan a l a m i sekarat pun kami tidak lagi b e r m i m p i

buka matakau h i r a h

lepaskan sepotong m e m o r i

engkau pernah terlahir d i s i n i

dengan sekeras-kerasnya katakank e p a d a

negeri mimpikau  i t u l a h  tanah air yang m e r d e k a

meratapi realitas hanya bonekaboneka flamboyan b e r g l o s a r iyang melangka rangkaikan keteladanan selain hanya k e r a n g k a hiasan perada di tapaktapak berkodeks kekuasaan hanyalah k a k i k a k i peranti para generator mulia yang nyatanyata be r t u b i t u b i membatu dengan hanyahanyah a n y a sayupsayup kudengar semakin lebar kedua kutub meruaskan hujan b e r i l u s i memampas aria dari sulur wirama ketiadaan nadanada selain d a h a g akering lidah fakta semakin berparalel terjamah binasa dari jemari s e n d i r i kendali jarak batas mementaskan h a n y a parlemen jalanan anakanakn e g e r i

Latar kisah (renungan Bara’)

Mungkin saja Hirah kehilangan bahasa kasih karena perhatian orang tuanya tersita. Mereka berusaha menghindari kebangkrutan dengan mempertahankan perusahaan tetap berskala besar kendati terus merugi. Bisa jadi keadaan ini sebuah tanda bermula yang membakar seisi tungku dengan nama beramanat. Tiada habis-habisnya di telapak kaki semangatmu mendarahabadikan satu kata. Hadapi.Bagaikan berkah pedang Jeanne d’Arc* setelah merebahkan diri di padang ilalang, engkau urat batu dan bara gerakan frontal para aktivis. Kehadiran anakmu yang sulit di terima kedua pihak keluarga melambangkan pedang itu. Apakah epilog menerima pengkhianatan dan pengadilan sesat adalah juga jalan hidupmu. Entahlah. Yang jelas aku tetap siaga demi perjuangan bersama.

Catatan :

Jeanne d’Arc pahlawan Perancis yang terkenal dengan gerakan frontal.

Terucap terima kasih sekali karena sering tanpa disadari, penulis terinspirasi dan terbimbing selama ini. Serta mohon maaf kepada sahabat-sahabat pembaca Kompasiana jika tidak terhindar kesalahpahaman sering terjadi di sana-sini. Selamat Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun