Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Puisi Anakku Terbilang (Lembar Pertama)

13 Desember 2012   12:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

jika anaknya tidak membuta // akibat pecahan bom waktu // mereka tidak memperlakukan dia // seperti anaknya sendiri

tidak terjadi apaapa //kata mereka kekar berkalikali

sementara //kami segaris memori tersusun //subbagian kecil jerat pupa // di kacakaca kedap suara //lama tersapa // daripadadaripadad a r i p a d a //generator idiomkan iklaniklan di ujung trotoar // skala menjengkal fakta jejal menjejal berkoarkoar //menyudahi semudah memperkosa berita //dekade serumpun minimalis di kakikaki meja //mempernyawa pelukan membius lengah //memarak logika kanakanak // meluruh di kala terimun kesangatan rasa //senyaman hangat selimut penjara // malammalam membebal bala //dan leherleher tersketsa //hitam berbintik selaka // diiringi cangkrikcangkrik nyaring menggema //penyangkalan di sanasini menjelma //dengan membasuh wajah

aibmu bukan darah kita

mungkinkah sayatan sumsum memerih //merentakrentak tulang melepas sendi //mungkinkah tanyatanya terdiam nyeri //manusia peti mati petikan kayukayu neraka berpetipeti //mungkinkah menggelar kemenangan berkaki //yang setiakan repihrepih terinjakinjak menyepi //mungkinkah semua tradisi sanksi //terpicing berjualbeli

sementara //kacakaca kita seribu mikrofon bertangkai //modulmodul kebanggaan kita saban hari dikencingi //air liur dari palet rumah kaca hargaharga mimpi //rintihan bait pertama dan akhir paragrafkan saksi

koma identikkan kebekuan //kala titik meniadakan koma //lupa dirahib keharuman //mengampu getageta bernama //memantaskan lininya terdepan //menggiring telingatelinga nanah bernanah //di atas detak nadinadi melarik //titik dan koma kerendahan hati merindukan detik

malam hari kami menarik bulan //saat merasakan panasnya mentari //karna siangmu liurkan mentari // saat tanganmu sedingin malam //di ujung pisau palet ruap meruap lula kami //di atas kanvas jiwa terbelah membiarkan diri //deras membabar surga baru menjerang diam //jawablah jika ingin tidaklah lagi // sandarkan kalam //merahimi

engkau sendiri tak beraksara //kala Hirasmu menyeberang arah //sesungguhnya ingin mendengar mu saat terlihat buta //seperti embunembun berpangku teduh di dedaunan //sebelum fajar sadarkan apa yang telah terjadi //begitulah kicauan burungburung dari mimpimimpi //jiwamu kusumakusuma yang tidak pernah meniadakan //cahayacahaya bersangkar lupa //katakanlah diammu melalui rahasia mereka

jika sedari dulu ada di tangan kiri //bom waktu karna di tangan kanannya //pupapupa dari rumah kaca berkatarak sunyi // dia menjauhkan mata batinnya bermakna //dengan segala alasan dan cara // hingga terbuka misteri waktu dan kebenaran // cara mereka memperlakukan

-----------------------------------------

Latar tulisan (renungan Bara’)

Belum tentu kehamilan di luar nikah hanya disebabkan kesalahan pergaulan remaja. Karena “sebab” tidaklah berdiri sendiri.

Tulisan terkait : Pengantar Puisi Anakku Terbilang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun