Mohon tunggu...
Bang Kemal
Bang Kemal Mohon Tunggu... -

Acuan kerangka awal, pelajaran SD/SMP, berpancasila. Hehe...seorang awam yang mau belajar. Terima kasih Kompasiana, Terima kasih Netter se-Indonesia. Mari berbagi........... dalam rumah yang sehat dan SOLID.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reformasi Jilid II, Revolusi, Sistem (Feedback), Mana Jalan Keluar? (III)

19 April 2010   22:38 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Utang negara dan beban rakyat

Wajib saya sebutkan, bahwa sumber data terbanyak dikutip dari nusantaranews.com (data awal 2009). Beberapa data baru dari Media Indonesia, dan penulis kompasiana Alexander Barata Marpaung dan lainnya. Data ditjen pengelolaan utang depkeu tgl 1 Juni 2009. Terlepas dari latarbelakang penulis dan lembaga ini masing masing, argumentasi atas dasar data, cukup kuat. Baik untuk kita sadari, siapakah sebenarnya kita saat ini, ditinjau dari sisi utang.

Masa orde baru, pimpinan Soeharto, utang negara selama 32 tahun, sebesar 1.500 Trilyun. Dari tahun 2004 – 2009, masa kepemimpinan SBY pertama (4,5 tahun masa kerja penuh), utang negara kita bertambah, dari 1275T menjadi 1667T. Naik 392T. Bandingkan dari penambahan jumlah utang rata rata pertahun antara 2 pimpinan kita. SBY ternyata lebih besar dari Soeharto. Mau dibantah atau dikoreksi? EGP sajalah. Apakah besarnya penambahan ini berbanding lurus akselerasinya dengan penurunan kemiskinan? Penurunan kemiskinan ternyata tidak turun drastis. SBY mampu membawa kita keluar dari utang IMF. Tapi kenyataannya, pengutang terbesar rata rata pertahun. Rekor baru dalam sejarah. Ada alasan besarnya utang tersebut karena krisis terdahulu dan defisit anggaran. Perbandingan, masa Megawati, pertambahan pertahunnya 4T. Pembenaran dan pembelaan dari Sri Mulyani bisa kita lihat di sini (http://vienska.com/search/masalah+hutang+negara+indonesia). Agar informasi kita berimbang.

Utang negara saat ini, bersumber dari pinjaman luar negeri dan surat berharga negara (SBN, SUN+Sukuk). Data laporan terakhir (tgl 28 Mei 2009 lalu) oleh ditjen pengelolaan utang negara, SBN berjumlah 973,257T. Ditambah dengan pinjaman luar negeri, maka total utang negara 1.619T (ada yg membulatkan 1700T). Pendukung devisa negara. Sumber pinjaman dari dalam negeri, berbentuk SBN, meningkat tajam sepanjang sejarah, sebagai peralihan secara bertahap ketergantungan terhadap pinjaman luar negeri. Rekor baru lagi. Tindakan ini mungkin diambil, untuk menghindari utang berdenotasi dollar, dan menghindari akibat pergolakan perekonomian global tak menentu yang dapat mempengaruhi ekonomi nasional. Ada maksud baiknya. Apakah tidak ada resiko?

Salah seorang penulis Kompasiana (http://ekonomi.kompasiana.com/2010/04/17/bom-waktu-yang-bernama-surat-utang-negara/) mengangkat sinyalir, penambahan SBN ini, Indonesia telah menyimpan bom waktu. Krisis baru. Tahun 2011 – 2012, terjadi profit taking dan pelarian modal asing bertahap. Bom waktu dipresiksi, siklusnya akan terjadi di tahun 2014. Bukankah tahun itu, adalah masa akhir jabatan presiden SBY? Karena pembatasan UUD, amandemen baru, SBY tidak boleh terpilih kembali untuk yang ketiga kali. Biasanya, dalam masa peralihan kepemimpinan nasional dan ketidakpastian siapa calon pengganti, bursa efek berfluktuasi tak menentu. Bom waktu dalam masa peralihan? Pernahkan sejarah tertulis, presiden atau mantan presiden, yang mengemplang utang besar dalam masa jabatannya, bisa masuk ke ranah hukum? Karena utang negara tidak bisa dipertanggungjawabkan secara hukum, semoga saja sinyalemen bom waktu itu salah. EGP sajalah

Dalam awal era reformasi, akibat krisis moneter, Megawati membuat utang swata di bank bank sakit yang ditutup, menjadi utang publik. Utang negara. Pengambilalihan144T, tambahan bantuan rekapitulasi 430T, dan beban bunga kita sebesar 600T. Total 1.174T. Beban bunga ini adalah beban negara sampai saat ini, yang dibayarkan kepada bank bank yang direkap. Ajaib. Dibantu dan diberi bunga. Uangnya dari mana itu? Pengurangan beban bertahap terbantu melalui penjualan aset pengusaha bermasalah. Tapi jauh dari angka aset sebenarnya. Bukan hanya dalam masa Megawati. Privatisasi, dan penjualan kembali aset negara berlanjut di masa SBY. Akibat berlanjut, korporasi asing di Indonesia menguasai 86,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa efek, 50% lebih kepemilikan perbankan.

Kebijakan era reformasi dan sebagai akibat dari krisis moneter, membawa kita sebagai anak bangsa, masuk kedalam penjajahan modern. Kita lemah dalam semua aspek. Kecuali kebebasan pers. Lihat nasib peralatan militer kita. Pesawat militer kita satu persatu rontok sendiri, karena biaya perawatan dicekak. Kapal angkatan laut sudah ketinggalan jaman. Negara tetangga berani menguji kedaulatan laut kita. Kita lemah dan tidak akan bisa independen lagi karena lemahnya harga diri sebagai negara pengemplang utang yang besar. Beranikah kita buat mobil nasional, dan memproteksi produk ini, layaknya mobil mobil dari negara produsennya sendiri. Malaysia bisa. Beranikah kita keluar dari perjanjian blok dagang dengan China, atau setuju dengan sejumlah proteksi ACFTA? Lihatlah hancurnya separoh lebih pengusaha tekstil dan garmen di Majalengka saat ini. Bisakah kekericuhan politik tidak berdampak luas ke bidang ekonomi rakyat? Thailand bisa. Rasio utang/ devisanya, hanya 0,52. Kita 3.01. Karena itulah, perubahan kepemimpinan nasional, apalagi itu karena perubahan sistem (era orde baru) dan politik bergejolak, pasar bursa efek ikut bergejolak. Terjadi lagi pelarian modal. Negara kesulitan keuangan. Pengangguran lagi dimana mana.

Seorang penulis Kompasiana, Bakaruddin Is, menjawab pertanyaan saya, bahwa komisi III DPR, pernah memperkirakan pajak yang tidak masuk negara adalah sebesar 300T. Prakiraan berdasarkan hitungan fee kejahatan pajak Gayus dan BA. Bukan hanya ketahanan ekonomi kita yang lemah. Moralpun dipertanyakan. Kepercayaan pembayar pajak, warga negara, terhadap petugas pajak berkurang. Semalam saya dengar radio acara diskusi interaktif. Seorang nyeletuk begini, “kata pembayar pajak; hari begini tidak bayar pajak, apa kata dunia? Petugas pajak menjawab, hari ini gue gak makan pajak elhu, apa kata Indonesia?” Sedikit gak nyambung sih, tapi cukuplah jadi renungan. Tidak akan ada celetuk seperti ini, kalau perilaku petugas tidak memalukan corps. Lanjut.

<!-- @page { margin: 0.79in } P { margin-bottom: 0.08in } -->

Tulisan I, Tulisan II, Tulisan III,  Tulisan IV

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun