Mohon tunggu...
bang joss
bang joss Mohon Tunggu... Jurnalis - mari tingkatkan karya nyata untuk indonesia tercinta ini

Membangun Karakter Diri Merupakan Proses Pembelajaran Paling Berharga Yang Tumbuh Dalam Jiwa Kita

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ujian Meningkatkan Derajat Manusia

16 Oktober 2017   12:02 Diperbarui: 16 Oktober 2017   16:06 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Minggu-minggu ini sebagian para peserta didik melaksanakan UTS atau Ujian Tengah semester, namun ada juga beberapa sekolah yang tidak melaksanakannya, mereka langsung mengadakan ujian semester. Ujian dilaksanakan hanya sesaat paling lama satu minggu tidak terus menerus, untuk melihat keberhasilan belajar atau kemampuan peserta didik, Menjadikan mereka naik pada satu tangga di atasnya atau bahkan menurun, inilah fungsi ujian.

Ada kata bijak menyebutkan,

"Dengan ujian manusia terhormat dengan ujian pula manusia akan terlaknat." Dari hasil ujian akan terlihat nilai baik atau buruknya sebagai barometer keberhasilan belajar dalam sekian bulan proses pembelajaran. Kalau ia mendapatka nilai-nilai yang tinggi dalam raportnya, ia di katakana berhasil, dan sebaliknya, jika mendapatkan nilai kecil atau pas-pasan ia akan di katakana belum berhasil atau gagal.

Dalam kehidupan juga demikian semakin tinggi suatu pohon akan semakin kencang anginnya, semakin tebal keimanan seseorang, maka semakin besar pula cobaannya. Para nabi dan rasul kekasih Allah mereka mendapat ujian lebih dari manusia biasa, karena mereka adalah manusia pilihan yang di berikan mukjizat oleh Allah. Berbeda jika ujian menghampiri terus menerus, mungkin ini menjadi peringatan atau bahkan adzab pada suatu umat atau seseorang.

Dalam ujian, sesungguhnya penilaian hasil belajar adalah bukan hanya pada angka-angka, tetapi pada perilaku, attitude, sopan santun, akhlak, perbuatan seseorang. Tidak ada artinya mendapatkan nilai Sembilan-sepuluh kalau berperilaku kurang sopan terhadap orang tua atau gurunya. Sementara yang mendapatkan nilai paspasan berperilaku sopan dan taat, tidak menjadi point bagi suatu penilaian pada suatu sekolah.

Pemerintahpun menetapkan standar nilai terlalu tinggi hampir semua mata pelajaran harus mendapat nilai minimal 70. Sementara kemampuan peserta didik jauh dari standar tersebut, untuk mendcapai nilai tersebut, guru harus mengulang test, remedial dan pengayaan beberapa kali. Maka tidak heran kadang para gurupun berbuat curang, dzalim dengan mendongkrak nilai-nilai peserta didik yang rendah menjadi standar minimal karena tuntutan pendidikan Negara.

Padahal sejatinya penilaian itu adalah kejujuran, kejujuran akan membawa kepada kebaikan diri dan kemaslahatan bersama sampai level bangsa. Kalau mendapatkan nilai satu, ya satu saja di tulis di raport, mengapa berubah menjadi 7, ini adalah satu kebohongan. Belum lagi perilaku menyontek dan perilaku tidak jujur yang lain sudah mendarah daging bagi sebagian anak  bangsa ini.

Sementara minat baca masyarakat Indonesia tercinta pada umumnya masih sangat rendah, minim sekali di banding bangsa-bangsa lain di dunia. Pemerintah belum mewajibkan selama satu tahun kurang peserta didik wajib membaca karya sastra 12 buah misalnya. Sehingga setiap bulan peserta didik akan mempunyai tugas membaca 1 buku saja, di luar buku-buku pelajaran dan tugas wajib dari sekolah. Masih banyak juga sekolah yang tidak memilik perpustakaan, padahal perpustakaan adalah jantung suatu lembaga pendidikan.

Sebagian penilaian peserta didik di negeri zamrud khatulistiwa ini masih banyak berkutat di lingkaran IQ dan hanya sedikit saja yang menggunakan penilaian EQ dan SQ. Padahal kecerdasan emosi dan spiritual era modern dan millennium ini lebih di butuhkan di banding kecerdasan intelektual atau kecerdasan otak. Masyarakat dimana peserta didik tinggalpun sesungguhnya tidak akan menanyakan berapa nilai matematikanya, IPA dan lain sebagainya. Namun ia akan melihat perilaku dan komunikasi anak tersebut sehari-hari. 

Seorang guru Australia pernah berkata bahwa mereka lebih khawatir dan takut anak-anak bangsanya tidak mampu untuk mengantri dari pada kemampuan mereka di bidang matematika. Mereka beralasan kalau mengajarkan suatu ilmu (matematika misalnya), dalam waktu tiga bulan peserta didik akan menguasainya. Namun budaya mengantri bisa di latih pada mereka hingga 12 tahun lamanya untuk bisa mengantri. Karena dalam mengantri banyak pelajaran yang dapat di ambil, diantaranya: belajar manajeman waktu, bersabar, menghormati orang lain, berdisiplin tidak menyerobot, kreatif yaitu memanfaatkan waktu saat mengantri, belajar bersosialisasi,dengan bicara dengan orang yang sama-sama mengantri, belajar tabah dan sabar, belajar jujur, belajar hukum sebab akibat, dan masih banyak lagi hikmah dan pelajaran dari mengantri.

Seharusnya pemerintah mengubah kembali system pendidikan negeri ini dengan berbasis kejujuran seperti penilaian yang dilakukan di pesantren-pesantren modern termasuk penilaiannya. Di pesantren sesungguhnya telah menerapkan pendidikan dan penilaian dengan model K13, hanya saja mereka tidak memberi nama pada penerapan pembelajaran di asrama tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun