Mohon tunggu...
Bang Java
Bang Java Mohon Tunggu... -

Sometimes complicated

Selanjutnya

Tutup

Money

Kegagalan Jualan Online

21 Mei 2017   19:51 Diperbarui: 21 Mei 2017   20:02 1452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Market online"] 

Hari-hari ini semakin banyak tulisan-tulisan ataupun seminar-seminar seputaran jualan via online. Kebanyakan hanya membahas dan bercerita tentang kesuksesan orang berjualan online tapi tidak ada yang bercerita tentang kegagalan ataupun kebangkrutan. Kadang saya berpikir, kalau memang mereka paham betul bagaimana meraih sukses berjualan online kenapa mereka masih jadi pembicara, kenapa mereka tidak dagang sendiri saja. Saya hanya ingin berbagi cerita bagaimana saya akhirnya bangkrut dalam berjualan online. Silahkan para pemirsa mengambil hikmahnya. Toh ada pepatah yang berkata "Belajarlah dari kegagalan". Cari Peluang Awalnya saya berpikir usaha apa yang bisa saya jalankan dengan modal seminimal mungkin. Karena saya butuh penghasilan untuk hidup sedangkan saya bisa dikatakan tak punya modal. Ketika orang ramai-ramai pakai Blackberry saya tidak tertarik. Saya hanya pakai handphone biasa. Orang sudah BBM-an saya masih SMS-an. Lama-lama saya melihat penggunaan Blackberry berkembang menjadi alat berjualan. Saya mendengar seorang teman berjualan kosmetik via online. Blackberry-nya sampai 4 karena banyaknya konsumen yang dia handle. Penghasilannya sampai puluhan juta per bulan. Wah, saya jadi terinspirasi. Saya mulai berpikir untuk jualan online juga, tapi masih bingung jualan apa. Setelah berkeliling Bandung saya berkenalan dengan pedagang sepatu. Singkat cerita akhirnya saya jualan sepatu via online. Saya menjual sepatu-sepatu yang ada di toko kenalan saya itu. Sayapun membeli Blackberry. Waktu itu market place seperti Tokopedia atau Bukalapak belum ada. Mungkin sudah ada tapi belum populer. Saya berjualan melalui media sosial Facebook dan Twitter. Saya juga membagikan PIN Blackberry saya kepada setiap orang yang saya kenal, tak lupa saya juga minta mereka membagikan PIN saya kepada teman-temannya melaui broadcast. Dagang Dimulai Saya mulai mem-foto sepatu-sepatu yang akan saya jual. Saya membagikan di media-media sosial. Pembelipun mulai 'nyangkut' satu persatu. Seiring waktu jalur pengambilan sayapun berkembang, mulai dari tingkat grosir, produsen hingga importir untuk sepatu import. Saya makin mengenal seluk beluk sepatu mulai dari yang 'kelas teri' hingga 'kelas kakap'.  Profit Tanpa Modal Setiap satu pasang sepatu saya mengambil untung 70.000 - 100.000 per pasang. Saya sudah mulai punya re-seller di luar kota. Sebulan saya bisa dapat 4-5 juta bersih. Saya tidak sewa toko ataupun bayar pegawai. Modal saya cuma kuota internet, lakban dan ongkos angkot atau bensin motor. Saya tidak keluar uang untuk setiap pengambilan barang karena uangnya ditransfer pembeli terlebih dahulu termasuk ongkos kirimnya. Bisa dibilang saya sudah mendapat untung duluan sebelum barang dikirim. Saya mulai berpikir untuk 'naik kelas'. Saya berpikir kalau saya punya modal saya akan main grosiran dan punya banyak re-seller.  Dapat Pinjaman modal  Tiba waktunya saya mendapat modal lumayan. Saya langsung sewa kios di pusat grosir tempat para re-seller biasa mengambil sepatu yang mereka jual di media sosial. Waktu itu Tokopedia dan Bukalapak sudah semakin popouler. Banyak pembeli yang beralih memesan barang via market place ini karena dirasa lebih aman. Karena banyak juga pedagang di media sosial yang menipu, uang sudah ditransfer tapi barang tidak dikirim.Saya sempat merasakan nikmatnya pedagang grosiran. Saya punya puluhan re-seller. Tugas saya hanya check stock untuk memastikan pesanan para re-seller tersedia. Biasanya pesanan diambil keesokannya dan dibayar cash.  Persaingan Antar Grosir Dimulai Banyak grosir yang mempunyai barang yang sama. Awalnya yang membuat patokan harga tiap jenis sepatu adalah yang pertama kali menjualnya baik barang lokal atau import. Karena tidak ingin merusak harga grosir lain ikut saja harga jual grosir yang pertama menjualnya. Namun di tengah perjalanan tak semua pedagang grosir mendapat pembeli sama banyak. Karena dikejar kewajibanan seperti sewa kios ataupun cicilan modal biasanya pedagang mulai menurunkan harga. Awalnya turun 5 ribu rupiah. Re-seller yang mendengar ada yang lebih murah pasti pindah. Pedagang grosir lainpun mulai ikut banting harga. Akhirnya harga sudah jelek. Dalam beberapa bulan bayar sewa kios juga sudah mulai terasa berat. Modal pokok yang harusnya dipakai untuk membeli barang lagi ke produsen perlahan berkurang karena dipakai untuk biaya hidup dan sewa kios. Lama kelamaan barang di kios semakin sedikit. Kalau barang sudah sedikit re-seller enggan bergabung. Mereka akan cari grosir yang lengkap dan banyak pilihan. Dengan sedih hati saya menutup kios saya dan mengobral barang yang tersisa dengan harga murah. Jika disimpan terlalu lama barang juga akan rusak. Persaingan Antar Reseller Saya akhirnya kembali menjadi reseller seperti awal. Tidak hanya di media sosial, saya juga 'ternak akun' di Tokopedia dan Bukalapak. Susahnya berjualan di market place kita harus mengirimkan barang terlebih dahulu. Setelah barang tiba 3-4 hari uang baru bisa dicairkan. Jadi harus ada modal untuk pembelian barang dan untuk ongkos kirim. Kalau pengiriman ke tempat yang jauh ongkos kirimpun semakin besar, bahkan bisa lebih besar dari keuntungannya. Bila ada complain pencairanpun bisa tertunda, apalagi kalau retur.Kesulitan tidak hanya disitu, ternyata persaingan di market place sudah sangat kacau. Kalau jualan di media sosial pembeli sulit mencari harga pembanding. Namun di market place seperti Tokopedia, Bukalapak dan lain-lain bila pembeli mencari sesuatu maka barang yang serupa dari pedagang lain juga turut muncul bersamaan. Dengan jari saja pembeli sudah bisa pindah toko. Bahkan ada tombol program 'Harga Termurah' untuk setiap barang yang dicari calon pembeli, sehingga barang yang ditampilkan dimulai dari harga yang terendah. Tidak jarang importir ataupun produsen juga ikut jualan disitu. Ada yang berani ambil untung cuma 5-10 ribu per pasang, padahal jualnya satuan.Kenapa mereka bisa bertahan? Mungkin mereka punya penghasilan lain. Atau buat reseller yang masih muda mereka cuma cari uang saku karena biaya hidupnya masih disubsidi orang tua.Ini bukan hanya terjadi di penjualan sepatu saja tapi juga di penjualan kaos, jeans, asesoris dan banyak lagi. Kehadiran market place justru membuat persaingan semakin terang-terangan dan menghancurkan harapan para pedagang yang tak punya modal. Selesai Sudah Akhirnya saya harus terima kenyataan bahwa tidak mungkin lagi berharap kepada penjualan online. Enam tahun lebih saya menjalaninya. Saya bahkan lebih miskin dari sebelumnya. Kontrakan rumahpun tidak terbayar lagi. Sepeda motor sudah ditarik pihak leasing. Barang-barang rumah tangga sudah terjual. Istripun menangis. Berat sekali rasanya melihat istri harus hidup pas-pasan menemani saya.Semoga pertolongan Tuhan cepat sampai.Amin.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun