Langit tetap temaram. Cahaya mentari sore menyelip di antara mendung, seumpama tiang-tiang menjulur dari kaki langit. Sementara tempias air, kecil saja, menimpa buritan. Senja masih terang, meski perlahan mentari menghilang. Namun tetap saja semuanya gelap bagi Darmi saat suaminya melambai dari geladak kapal. Dan seiring mentari semakin tenggelam, suaminya semakin jauh tak terjangkau mata.
“Mi, penjaga malam bilang kalau tadi malam pas bulan purnama, mereka melihat orang-orang mandi di muara,” tetangga Darmi bertutur saat subuh. Saat Darmi menjajakan ikannya di pasar. Dan berita itu sudah tersebar ke tempat itu. Semua orang sudah mendengarnya. Semua orang membicarakannya. Semua orang berusaha menerka, siapa korban selanjutnya.
“Begitulah, Mi, mengapa nenek moyang kita memberi sesaji kepala kerbau pada Betara Kala,” Darmi masih tertegun, namun tetangganya tetap melanjutkan, “Agar penguasa laut itu memberi tanda pada orang-orang di darat.”
Bujuk rayu Darmi pada suaminya hanya punya waktu sejak subuh itu. Sejak mentari mulai naik, dan terang pelan mengusir gelap. Saat itulah usaha Darmi dimulai. Usaha untuk meyakinkan suaminya, bapak dari kedua anaknya, dan kepala keluarga dari rumah semi permanen di tepian tanggul muara.
“Wis Pak, ora usah melaut,” Darmi lirih.
“Itu mitos, Mi,” suaminya menyahut dengan yakin, “Semuanya hanya kebetulan.”
Suaminya tetap bersikukuh.
“Jangan pikirkan hutang dulu, pak. Mikir selamat saja dulu,” sekuat rasa, Darmi tetap membujuk suaminya.
“Wak Kaji sudah banyak bantu kita, Mi.”
Darmi sejak lama sudah berpikir, watak dan cara pikir suaminya sudah tertular majikannya. Kaji Sirajudin satu-satunya pemilik kapal di ujung muara ini yang tidak pernah menyumbang larung sesaji. Darmi tak pernah menemui kembang setaman, maupun dupa penuh kemenyan dalam setiap kapal yang diberangkatkan.
“Kaji Sirajudin fanatik, Pak, jangan ditiru,” Darmi hampir-hampir menangis putus asa. Matanya berkaca-kaca. Suaranya sudah semakin lirih.