1. Kami saling menjaga perasaan.
Jika saya dibilang kafir dan bakal masuk neraka oleh kawan yang non-muslim, saya mungkin naik pitam juga. Ya buat apa sholat dan puasa jika kelak masuk neraka? Padahal itu bagian dari keyakinan mereka. Saya kafir bagi mereka, dan mereka kafir bagi saya. Its fair. Tapi jadi masalah ketika keyakinan itu diutarakan pada sekonyong-konyong percakapan di kelas.
Sama halnya ketika tiba-tiba seseorang mengungkapkan hal semacam ini di media sosial. Bahkan meski di beranda Facebook-nya sendiri. Kalau kita sakit hati dikatakan demikian, maka jangan pernah melakukan hal yang sama pula. Saling menjaga perasaan adalah kunci.
2. Ada tujuan bersama yang dicapai.
Kami punya tujuan bersama yang hendak dicapai. Ya apalagi tujuan dari pelajar selain lulus dengan nilai bagus. Kami terlalu sibuk mengejar tujuan kami, sehingga tak sempat membiarkan kebencian tumbuh di hati kami. Tujuan itu jauh lebih indah daripada berdebat seputar keyakinan. Biarkan keyakinan damai di hati kami masing-masing, dan termanifestasi dalam sebuah kesuksesan hasil belajar yang hendak kami capai.
Saya pun berpikir, jika kerusuhan berbasis SARA sering meletup di negeri ini, mungkin kita melupakan untuk apa kita hidup bernegara. Kita lupa tujuan dari berdirinya negara ini, kita lupa untuk apa Indonesia hadir. Ini darurat kebangsaan.
3. Kami tak mengenal politik.
Saat tragedi 9/11 meletus, kami masih kelas 1 di SMA. Itu berarti usia kami berada pada kisaran 15 hingga 16 tahun. Belum ada KTP berarti belum terlibat pemilihan umum. Tak ada politik diantara kita, dan tak ada politisasi di tengah-tengah kami. Mungkin itu menjadi sebab mengapa kami adem-ayem saja menjalani hari-hari kami bertoleransi.
Namun politik yang saya maksud memang politik yang diartikan oleh banyak orang saat ini. Definisi politik menurut keumuman. Politik yang sekarang 'membelah' Indonesia menjadi dua. Namun jika politik adalah niat membangun negeri menjadi lebih baik, maka tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan 'mengenal' politik.
Penutup
Tradisi merawat perbedaan keyakinan memang bukan perkara mudah, terlebih di era dimana semua orang bisa melepaskan hasratnya berpendapat. Namun semuanya bisa teratasi saat watak bertoleransi yang secara alami sudah menjadi gen dalam diri bangsa Indonesia, muncul dan mengemuka mengalahkan efek negatif dari media sosial ini.