Lampu kamar sudah dimatikan, dan seorang ayah tidur bersama dua dari tiga putranya ditempat tidur tingkat yang setengah jadi.
Dan ia pun memulai cerita nya.
"Kalian beruntung, bisa tidur bersama ayah kalian, ayah dulu tak pernah, karena atok kalian seorang penjaga malam. Kalian beruntung karena masih bisa shalat maqrib berimam, makan malam bersama dan masih bisa mengadukan hal-hal keperluan kalian. Ayah tak pernah, ditemani belajarpun tidak, tak pernah ditanyakan keperluan keperluan ayah bahkan tak pernah disuruh suruh menghafal.
Ayah bukanlah apa apa, Atok kalianlah yang hebat, Ia mampu menyekolahkan dua putranya hingga menjadi sarjana. Dia orang yang bahagia dalam hidup, walaupun hanya seorang pekerja biasa dan hidup sederhana. Ia orang yang bahagia, karena banyak murid mengajinya, banyak pula hafalan ayat ayatnya.
Ayah tak pernah mengkhawatirkan kalian menjadi apa, yang ayah cemaskan kalian tak mampu menghadapi hidup ini. Maka belajarlah ...
Jadilah sesuatu dan jadilah orang orang yang merdeka. Orang yang membebaskan dirinya utk belajar, menikmati alam, bersahabat dan berteman, menikmati waktu bermain. Itulah merdeka. Orang malas bukan orang yang merdeka, karena terkungkung kemalasannya.
Bila kalian dewasa nanti, bebaskan bangsa ini dari pembodohan dan kebodohan. Kapitalis itu pembodohan. Karena bisanya membodohi orang lain.
Saat ini ...
Dimana ayah masih sehat, ayah masih disamping kalian, maka belajarlah dengan sungguh sungguh, karena besok, bisa saja ayah tak lagi disini, ayah tak lagi sehat dan kuat. Belajar itu cukup hanya membaca. Memindahkan isi buku menjadi isi kepala kalian. Tak usah bingung apa itu belajar.
Sudahlah ... istirahat lah...
Ayah sayang kalian ..."
Kemudian sang ayah mencium kening kedua anaknya dan mereka berlinang air mata. Tak sadar, nasehat sang ayah sudah begitu dewasa utk anak sekecil mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H