Kasus Setya Novanto memasuki babak baru, setelah sidang Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang menghadirkan dirinya sebagai ter-adu. Sidang MKD kali ini dilaksanakan secara tertutup, sebelumnya sidang dilaksanakan terbuka ketika menghadirkan Sudirman Said dan Maroef Sjamsoeddin. Reaksi publik begitu keras ketika sidang MKD dilaksanakan tertutup, terlebih sidang tersebut menghasilkan suatu keputusan untuk menguji keabsahan alat bukti yang diajukan pengadu. Ketidakpercayaan publik terhadap DPR memuncak, bahkan tidak sedikit menunjukkan kemuakan terhadap politisi senayan. Banyak pengamat mengindikasikan telah terjadi transaksi politik besar-besaran, dalam “meloloskan” Setya Novanto dari pelanggaran etik.
Tidak kalah menarik melihat reaksi istana, gimik yang dipertunjukkan Presiden Jokowi mengisyaratkan suatu “deal” yang belum memuaskan. Pada awal kasus pencatutan namanya, Presiden tampak lebih rileks bahkan di berbagai media ia menanggapinya sebagai sebuah lelucon. Ternyata lelucon yang mungkin saja ia ketahui jalan ceritanya ini telah berubah skenario di tengah jalan, sidang MKD yang tertutup memancing reaksinya dan publik patut untuk membaca. Kembali pada aksi intelijen ilegal yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin dalam kedudukannya sebagai Direktur Freeport Indonesia, bukan sebagai mantan petinggi BIN. Apakah yang dilakukan Maroef Sjamsoeddin yang ia sebutkan sebagai inisiatif pribadinya bisa terlepas dari atributnya sebagai intelijen, apakah Jim Bob sebagai pimpinan Freeport adalah satu-satunya bos Maroef?
Ada kepentingan freeport memang dalam drama ini, namun ia tak mungkin berdiri sendiri tanpa kepentingan politik lokal yang dimainkan oleh elit negeri ini. Keberanian Sudirman Said mengadukan kasus Setya Novanto ke Mahkamah Dewan bukanlah tanpa perhitungan, bukan juga tanpa dukungan kekuatan yang penting. Sejak awalnya aduan ini merupakan permainan berisiko tinggi, orang atau sekelompok orang dengan kemampuan manajemen konflik yang berani menggelindingkan konflik ini. Pertemuan yang diklaim oleh Maroef Sjamsoeddin terjadi sebanyak 3 kali ini ada jeda yang cukup lama jika dirunut hingga ke pengaduan Sudirman Said. Pengaduan ini bukanlah aksi spontan, skenario ini bahkan telah mampu memanipulasi sebagian elit untuk masuk dalam pusaran konflik.
Dalam pertemuan yang belakangan dibantah Setya Novanto, selain pencatutan nama Presiden dan Wakil Presiden disebutkan juga nama Luhut Panjaitan. Publik cukup bisa membaca bahwa dalam tubuh istana terdapat banya faksi yang saling tarik menarik kepentingan, salah satunya adalah gerbong Luhut yang dianggap paling kuat. Lalu apakah tindakan Maroef Sjamsoedin yang merekam secara ilegal dan menyerahkannya pada Sudirman Said tidak diketahui istana? Sebagai seorang prajurit, Maroef rasanya tidak akan bertindak tanpa sedikitpun kepentingan negaranya dalam hal ini diwakili sebagai kepentingan Istana. Entah istana ini menjadi representasi yang memadai mewakili kepentingan negara, atau kepentingan faksi-faksi di Istana, yang jelas ada “niat istana” dalam kekisruhan politik ini.
Publik kini menantikan setelah babak di MKD, apakah kasus Setya Novanto akan bergulir ke penegak hukum dalam hal ini Kejaksaan Agung atau berhenti begitu saja. Kita ketahui bahwa Jaksa Agung merupakan pos milik Partai Nasdem, dengan bergabungnya PAN apakah isu reshuffle ini akan berdampak pada posisi Jaksa Agung? Tampaknya kasus ini akan dijadikan Jokowi sebagai bagian dari manajemen konflik, selain terhadap beberapa pos pembantunya juga terhadap anggota koalisinya. Kemauan istana yang membuat kisruh ini seharusnya berujung pada kepentingan nasional khususnya dalam kaitannya dengan Freeport. Publik tentu tak menginginkan bahwa semua kisruh ini hanya berujung pada kesepekatan elit politik, dalam hal saling sandera dan pembagian kekuasaan. Saatnya revolusi mental yang dijanjikan Presiden Jokowi dibuktikan!
Begras Satria