Publik hari-hari belakangan ini disibukkan dengan kasus pencatutan Presiden oleh ketua DPR, Setya Novanto. Namun, jika kita cermati maka akan kita dapati bahwa publik telah salah fokus. Publik digiring pada cerita pencatutan oleh Novanto, sejatinya dibalik ini justru terdapat masalah yang lebih serius. Ini persoalan kedaulatan bangsa ini, kita tidak sedang berperang antar negara. Hari ini perang “diwakili” oleh korporasi, sebagai kepanjangan tangan kepentingan politik negara.
PT Freeport Indonesia adalah sebuah perusahaan afiliasi dari Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. PT Freeport Indonesia menambang, memproses dan melakukan eksplorasi terhadap bijih yang mengandung tembaga, emas, dan perak. Beroperasi di daerah dataran tinggi di kabupaten Mimika, provinsi Papua, Indonesia. Freeport Indonesia memasarkan konsentrat yang mengandung tembaga, emas dan perak ke seluruh penjuru dunia.
Kini PT Freeport Indonesia dipimpin oleh Maroef Sjamsoeddin, purnawirwan TNI dengan jabatan terakhir di militer sebagai Wakil Direktur Badan Intelijen Negara (BIN). Posisinya di Freeport sebagai presiden direktur inilah yang membawanya pada pertemuan dengan Setya Novanto dan Muhammad Riza. Pertemuan yang menjadi pusat perhatian publik karena di dalamnya terdapat permbicaraan yang disebut-sebut sebagai pencatutan Presiden oleh Novanto. Pembicaraan yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin melalui ponsel miliknya, yang kemudian ia serahkan pada Menteri ESDM Sudirman Said.
Perlu kita ingat bahwa perekaman pembicaraan antara ketiga orang dalam pertemuan tersebut dilakukan oleh Maroef dalam kapasitasnya sebagai Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, bukan sebagai seorang anggota atau mantan pimpinan BIN. Apapun motifnya, perekaman yang ia lakukan tidaklah bisa dikatakan mewakili negara melainkan mewakili korporasi. Ini adalah situasi serius yang harusnya kita cermati, apalagi ini menyangkut korporasi asing yang telah menebar berbagai kontroversi selama eksploitasi sumber daya alam kita.
Kita tidak sedang menonton pertunjukan perselisihan antar pejabat negara, publik disuguhi cerita epik tentang politik adu domba yang dilakukan oleh korporasi asing terhadap pejabat kita. Ini mengingatkan kita pada masa dimana kolonialisme melakukan adu domba terhadap pribumi dan disaat yang bersamaan mereka menjajah serta menjarah kekayaan alam kita. Episode yang menyedihkan bagi bangsa ini, kita dijajah bukan lagi oleh negara namun oleh korporasi yang bisa jadi perpanjangan tangan kepentingan politik negara. Inilah era kolonialisme baru, jaman penjajahan dengan darah kapitalisme yang bahkan mengalir di dalam tubuh orang-orang yang seharusnya berjiwa patriot.
Begras Satria
(Sekretaris Eksekutif Yayasan Literasi Bangsa)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H