Mohon tunggu...
Bang Auky
Bang Auky Mohon Tunggu... Freelancer - KBC 54|Kompasianer Brebes Jateng| Golet Jeneng Disit Mengko Jenang Teka Dewek

Pariwisata adalah locomotif ekonomi baru dimana banyak gerbong yang mengikuti dari UMKM, Transportasi, Pemandu Wisata, Hotel dan Restoran, Seniman, Souvenir dan mitra-mitra pariwisata yang lain.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ngaguyang Kuwu, Ikhtiar Mendatangkan Hujan

22 Maret 2020   09:08 Diperbarui: 22 Maret 2020   09:19 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di Indonesia kita hanya mengenal dua musim, musim kemarau dan penghujan.  Setiap musim punya spesifikasi masing-masing. Jika musim kemarau semuanya ribut panas,  sumur kering. Tetapi ketika musim hujan pun masih teriak, becek dan banjir,  manusiawi. 

Walaupun sekarang sedang musim hujan yang turun hampir setiap hari,  namun ada satu cerita tentang ritual mengundang hujan.  Ada satu tradisi jika musim kemarau berkepanjangan di daerah Jalawastu,  yaitu Ngaguyang Kuwu. 

Dok. Pribadi
Dok. Pribadi
Ngaguyang Kuwu (menyiram/mengguyur/memandikan kepala desa)  tidak dilaksanakan setiap tahun,  tetapi sewaktu sudah memasuki musim penghujan tapi hujan tidak kunjung turun.  Dilaksanakan dialiran Sungai Rambu Kasang sungai yang tidak pernah kering airnya walau musim hujan. 

Dok. Darmaja
Dok. Darmaja
Sebagai persiapan awal ibu-ibu menyiapkan nasi yang dibentuk kerucut kecil (congcor) dengan lauk ikan asin,  yang intinya tidak memberatkan masyarakat.  Kelapa muda,  akar pohon yang digeprek sebagai simbol tetes air hujan, kembang dan membendung sungai dengan batu.  Acarapun dimulai dengan doa-doa mohon kepada Tuhan agar hujan segera turun untuk mengairi sawah ladang mereka.  Setelah selesai doa dilanjut makan nasi congcor yang dibawa tadi untuk jaga-jaga agar tidak masuk angin. 

Dok. Darmaja
Dok. Darmaja
Sebagai acara puncak Ngaguyang Kuwu,  kepala desa duduk untuk siap-siap diguyang. Pemangku adat memberikan doa dan mencipratkan air kembang kepada kepala desa sebagai simbol kasih sayang. Kasih sayang kepada pemimpin,  wangi kembang agar sang pemimpin bukan hanya harum tubuhnya tetapi juga harum tindakan dan perbuatannya. Pemangku adat menyiramkan air ke kuwu, disusul warga yang lahir hari jumat dan selanjutnya bebas.  Puncak kegembiraan mereka dengan saling menyiramkan air kepada siapa saja yang berada didekatnya. 

Dok. Darmaja
Dok. Darmaja
Acara semakin meriah tua muda bercampur gembira, menikmati kebahagian. Batu yang untuk membendung sungai  dibuka, sorak sorai dan cipratan air makin seru.  Mengalirlah air sungai dengan derasnya diikuti bebatuan yang tadi membendungnya. Sebagai simbol ketika musim penghujan datang dan sungai mengalir deras maka akan membawa apapun yang ada,  termasuk bebatuan. (KBC-54|Kompasianer Brebes) 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun