Sosok itu masih gagap. Bahkan dari tanggal pengumuman bahwa dirinya lolos untuk mencoba motor 200 cc, ia tidak pernah yakin apakah bisa mengendarai motor berkopling. Ya, ia pernah mencobanya waktu masih berseragam putih abu-abu. Akan tetapi itu sudah lama sekali dan kejadian itu hanya berlangsung selama 15 menit. Susah jalan karena antara melepas kopling dan memutar gas selalu tidak sinkron. Selalu saja motornya mati. Pada saat berhasil jalan, ada perasaan senang dan hanya berani main di gigi dua. Tidak berani untuk berhenti karena khawatir mati lagi. Hanya itu. 25 tahun sudah berlalu, ia tidak yakin bisa melakukannya lagi. Ada trauma di kepalanya. Kekhawatiran bahwa dirinya akan panik di jalan raya karena motornya mati.
Selasa, 23 Agustus 2016. Jakarta, kota metropolitan. Pukul enam lebih sedikit sosok itu sudah menembus belantara Jakarta dengan menggunakan sepedanya. Menggowes memang telah menjadi candu baginya, dan perjalanan dari Kelapa Gading ke Cawang bukanlah hal yang memberatkan. Semua itu dijalaninya dengan bahagia.Â
Melewati Kayu Putih, Rawamangun, hingga trek lurus Ahmad Yani meski harus bersabar saat mendapat teguran berupa lampu merah dan suara klakson yang memekakkan telinga. Sampai di Cawang, kemacetan begitu jelas terpampang. Beginilah Jakarta. Alhamdulillah dia sampai dengan selamat di dealer TVS Jl. Dewi Sartika. Hari masih pagi dan pintu gerbangnya masih tertutup. Beruntung sudah ada Radja di sana, sebagai admin Kompasiana yang bertanggung terhadap acara ini.
Beberapa menit dan jam kemudian dirinya masih merasakan rasa cemas yang luar biasa. Motor-motor besar berbagai cc terpampang di sana. Dari hanya sekadar motor bebek 100 cc hingga Apache 200 cc. Pertanyaan sama terulang kembali, "Bisakah dia mengendarainya?" Sosok itu memantapkan diri bahwa dirinya BISA. Apalagi setelah pembagian jas hujan dan jaket motor yang super keren, makin menunjukkan bahwa dirinya memang pemotor pilihan. Harus bisa dan harus dibuktikan.Â
Meski start-nya agak telat, dia pun segera menaiki Apache warna putih. Gagah pastinya. Mungkin harus difoto agar dirinya bisa melihat dengan jelas apakah dirinya sudah pantas hehehe. Pemanasan mesin tidak masalah. Hingga akhirnya masuk ke gigi satu, alhamdulillah motor bisa dijalankan. Hanya saja saat memasuki jalan raya yang muaceeet, di sinilah tantangan pertama yang harus dihadapinya. Mengendarai motor besar di jalanan macet itu siksaan yang luar biasa, apalagi baru pertama kali mencoba.
Berkali-kali, entah sudah berapa hitungan, Apache yang dikendarainya mati. Dicoba bertahan di gigi dua, tetap saja mati. Hingga akhirnya setelah berjam-jam kemudian dia menemukan kunci untuk bermain di gigi satu kalau sedang berhenti. Netral? Jangan ditanya. Ternyata dia baru mengetahui kalau motor pabrikan India itu sulit untuk dinetralkan. Entah mengapa. Usut punya usut, dia mendapatkan jawaban dalam sebuah anekdot di India sana. "Begitu mudah mencari pasangan di India, tapi betapa sulitnya mencari Netral." Dia pun mengangguk. Anekdot yang lucu. Dan sosok itu mendapatkan tips sendiri untuk mendapatkan netral, yaitu dengan mematikan mesinnya saat gigi satu. Lalu menyalakannya kembali dan dipindahkan ke netral sebelum mesin dinyalakan. Sederhana, tapi ya kok lucu juga hehehe. Untungnya, meski beberapa kali mati, dia masih bisa menyalakannya langsung saat masih gigi satu. Tidak menyebabkan kemacetan baru tapi asli ... bikin tegang.
Kalau bicara soal turing atau jalan jauh, sosok itu sudah familiar. Turing bersepeda sudah beberapa kali dilakukan, baik beramai-ramai maupun sendiri. Bandung ke Jakarta atau sebaliknya sudah dilakukannya berkali-kali. Tidak ada masalah, karena tidak ada istilah kebut-kebutan. Yang jadi masalah adalah seberapa kuat dengkulmu. Kalau bermotor, pernah sekali dilakukan beramai-ramai saat perjalanan Bandung - Garut. Turing yang santai dan tidak ada istilah harus berbaris rapi. Yang penting rombongan masih terlihat dan tidak tertinggal jauh. Kalau bermotor sendiri? Berkali-kali dilakukannya. Mudik lebaran saja naik motor. Ini jauh lebih nyaman lagi karena ya tidak ada beban harus tertinggal atau lebih dahulu. Namanya juga sendiri. Dibawa santai dan hepi saja. Mau beberapa kali istirahat juga oke.
Nah, jauh berbeda dengan perjalanan kali ini. Bisa jadi inilah turing yang sesungguhnya. Mayoritas yang ikut #TVSJoyRide adalah mereka yang sudah biasa melakukan turing motor. Ada perwakilan dari Komunitas TMC Jakarta yang dari penampilannya saja sudah disebut biker sejati. Lah, sosok itu? Sarung tangan baru beli semalam. Pelindung lutut dan sepatu khusus tidak punya. Untunglah dapat jaket yang sudah include pelindung lengan dan bahu. Dan benar saja, saat sudah melewati area kemacetan, beberapa motor langsung digeber dengan kecepatan tinggi. Dia pun harus bersusah payah mengimbangi kecepatan mereka agar tidak tertinggal jauh. Awalnya agak kagok, tetapi kemudian lama-lama jadi terbiasa. Apalagi dengan Apache 200, semuanya jadi lebih mudah meski masih belum terbiasa. Dan yang membuat jantungnya berdetak begitu cepat adalah saat menghadapi rintangan takterduga dengan adanya orang atau kendaraan yang muncul tiba-tiba di hadapan. Ban belakangnya sempat slip karena direm mendadak meski alhamdulillah bisa diatasi dengan baik.
Sahabat baru. Keluarga baru. Pengalaman baru. Alhamdulillah perjalanan seharian penuh mengendarai motor TVS dari Jakarta ke Karawang, lalu ke Purwakarta berjalan dengan lancar. Begitu pula di hari berikutnya menuju Jatiluhur, lalu kembali ke Karawang dan akhirnya pulang ke Jakarta. Tidak ada halangan berarti meski mencoba dua motor sekaligus, Apache 200 cc dan motor bebek Rockz 100 cc. Paling yang amat disayangkan adalah gagal bertemu Joe Taslim karena keterlambatan. Joe Taslim adalah aktor kawakan Indonesia yang menjadi brand ambassador dari TVS Apache. Gagah. Cocok.Â
Yang membuat dirinya tidak nyaman (subjektif) adalah keburu-buruan. Bisa jadi konsep turing memang seperti itu. Hari pertama dia hanya merasakan harus fokus pada jalan, jangan sampai tertinggal. Meski beberapa kawan berhasil tes kecepatan hingga 120 km/jam, ternyata dirinya hanya sanggup sampai 90 km/jam atau kurang dari 100 km/jam meski sudah disetel di gigi tertinggi. Ini masalah mental, meski umur juga mempengaruhi. Akibatnya ... dia tidak terlalu menikmati turing. Dia tidak tahu lewat jalan mana saja yang sudah ditempuh. Tahu-tahu, dia sudah sampai di Pabrik TVS Karawang, dan malamnya tahu-tahu sudah sampai di Giri Tirta Kahuripan, Purwakarta.